CATATAN POLITIK

MIRIS! Ketika Konseptor Kekuasaan Tak Mampu Meredam Isu Palsunya Sebuah Legitimasi

Democrazy News
April 05, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
MIRIS! Ketika Konseptor Kekuasaan Tak Mampu Meredam Isu Palsunya Sebuah Legitimasi


MIRIS! Ketika Konseptor Kekuasaan Tak Mampu Meredam Isu Palsunya Sebuah Legitimasi


Oleh: Agusto Sulistio

Pendiri The Activist Cyber


Selama satu dekade kekuasaan Joko Widodo (Jokowi) dari 2014 hingga 2024, narasi sukses politiknya tak bisa dilepaskan dari satu nama yakni Prof. Dr. Pratikno. 


Sebagai mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Menteri Sekretaris Negara selama dua periode Jokowi, Pratikno bukan sekadar pembantu presiden.


Ia diyakini sebagai konseptor utama di balik loncatan politik Jokowi dari Solo hingga Istana, bahkan ikut merancang jalur politik putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, hingga menjadi Wakil Presiden melalui keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi terkait usia minimum cawapres.


Namun di balik keberhasilan strategi itu, terdapat satu titik lemah yang tak mampu diredam oleh Pratikno maupun jaringan kekuasaan yang dibangunnya yaitu dugaan ijazah palsu Jokowi.


Isu ini mencuat sejak tahun 2022 dan terus membesar. Gugatan hukum dari Prof. Eggi Sudjana yang mempertanyakan keabsahan ijazah S1 Jokowi dari Fakultas Kehutanan UGM gagal diredam. 


Fakta bahwa Jokowi tidak pernah hadir dalam persidangan dan hanya mengandalkan pembelaan institusi terutama dari UGM dan pernyataan Prof. Pratikno menambah kecurigaan publik. 


Lebih ironis lagi, munculnya testimoni dari pihak yang mengaku sebagai putri Prof. Sumitro dosen senior UGM yang menyatakan bahwa ayahnya tidak pernah mengenal atau membimbing skripsi Jokowi, menjadi pukulan telak terhadap narasi resmi pemerintah.


Puncaknya terjadi ketika muncul issue bahwa Prof. Pratikno dikabarkan mundur dari jabatannya dalam kabinet Prabowo, sebuah sinyal politik yang tak bisa dianggap enteng. 


Andai issue itu benar maka mundurnya Pratikno tak hanya menunjukkan kegagalannya dalam meredam isu ini, tetapi juga menggambarkan bahwa poros pengaman politik Jokowi kini rapuh.


Sebagai tokoh yang dipercaya penuh oleh Jokowi, publik berharap Pratikno mampu menyelesaikan persoalan dugaan ijazah palsu ini sedari awal secara transparan dan akademis. 


Namun, sikap defensif, narasi sepihak, dan tidak adanya bukti akademik otentik dari Jokowi justru memperpanjang ketidakpercayaan publik. 


Kini, bukan hanya nama Jokowi yang tercoreng, tetapi juga posisi Gibran sebagai wapres muda mulai terimbas.


Gibran, yang pendidikan tingginya di luar negeri (Singapura dan Australia), juga mulai dipertanyakan oleh publik. 


Keterkaitannya sebagai anak sulung Jokowi menempatkannya dalam posisi yang rentan, apalagi di tengah ketidakjelasan transparansi data akademik keluarganya sendiri. 


Tanpa klarifikasi terbuka, hal ini dapat menjadi warisan krisis legitimasi yang menimpa dua generasi kekuasaan.


Secara objektif, apa yang dialami Jokowi bukanlah kasus yang terisolasi. 


Di sejumlah negara besar, pemalsuan atau manipulasi dokumen akademik oleh pemimpin telah memicu krisis politik serius.


Seperti yang terjadi pada Karl-Theodor zu Guttenberg (Jerman, 2011), Menteri Pertahanan Jerman, mundur setelah diketahui melakukan plagiarisme dalam disertasi doktoralnya di Universitas Bayreuth. Ia mengundurkan diri meski memiliki dukungan politik kuat. 


Kemudian yang dialami Kingluck Shinawatra (Thailand), adik mantan PM Thaksin, disorot terkait legalitas gelarnya dan kemudian dicabut hak politiknya karena penyalahgunaan kekuasaan dalam program subsidi beras. Ia diasingkan dan digulingkan lewat kudeta militer. 


Park Geun-hye (Korea Selatan), Presiden perempuan pertama negeri ginseng itu, dijatuhkan bukan karena ijazah, tapi karena pengaruh jaringan pribadi dalam pengambilan kebijakan. 


Namun kasusnya menunjukkan bahwa kredibilitas pemimpin sangat menentukan stabilitas politik.


Bahkan di Indonesia, Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, pernah dituduh menggunakan ijazah palsu ketika mendaftarkan diri sebagai caleg. 


Meski bukan presiden, isu tersebut memperlihatkan bahwa keabsahan ijazah menjadi pintu masuk kejahatan yang lebih besar.


Apa yang belum terjadi di Indonesia adalah keteladanan moral untuk mengundurkan diri secara sukarela akibat isu integritas seperti yang terjadi di negara-negara maju. 


Padahal, jika Jokowi sejak awal bersedia membuka secara transparan dokumen dan bukti akademiknya, dan Pratikno sebagai orang kepercayaan benar-benar menjalankan fungsi penjaga etika, isu ini tak perlu membesar hingga mengancam masa depan politik keluarganya sendiri.


Kini publik melihat bahwa tidak ada “tameng” yang cukup kuat melindungi kekuasaan bila kebenaran dikesampingkan. 


Issue sepihak mundurnya Pratikno seolah menjadi simbol kekalahan moral dari narasi besar yang ia bangun selama satu dekade.


Apakah ini akan menjadi awal dari pembalikan arus kepercayaan publik terhadap Jokowi dan Gibran? 


Atau, justru mempercepat disintegrasi pengaruh politik Jokowi dalam peta kekuasaan nasional?


Sejarah akan mencatat, bahwa bukan hanya kekuasaan yang besar yang bisa runtuh karena skandal, tetapi juga karena keengganan pemimpinnya untuk jujur terhadap masa lalunya sendiri. ***

Penulis blog