DEMOCRAZY.ID - Advokat sekaligus Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR), Ahmad Khozinudin, menyoroti kooptasi kekuasaan yang semakin memanfaatkan Polri dan TNI dalam pemerintahan.
Menurutnya, fenomena ini telah berlangsung lama dan semakin mengkhawatirkan dengan adanya perubahan regulasi yang memperluas peran aparat keamanan di sektor sipil.
“Masuknya sejumlah pejabat Polri ke berbagai kementerian dan lembaga telah menjadikan pemerintahan lebih dikendalikan oleh kepentingan Polri, bukan oleh konstitusi,” ujar Ahmad Khozinudin kepada JakartaSatu, Sabtu (22/3/2025).
Ia menilai, model pengelolaan negara saat ini semakin mengarah pada sistem instruksi dan ancaman.
“Jika kehendak oligarki tidak dijalankan, maka Polri menjadi instrumen pengancaman, bertindak layaknya Satpam Oligarki,” tambahnya.
Lebih lanjut, Ahmad menyoroti langkah TNI yang mengikuti jejak Polri dalam memperluas perannya di sektor sipil.
Hal ini, menurutnya, semakin nyata setelah revisi Undang-Undang TNI yang baru disahkan.
“Polri sudah lebih dulu merumput secara liar di luar kandang. Bukannya dikembalikan ke jalurnya, justru TNI kini ikut dikeluarkan dari kandangnya. Padahal, baik TNI maupun Polri sudah mendapatkan anggaran yang layak dari APBN,” tegasnya.
Ia juga mengkritisi hilangnya prinsip bahwa TNI dan Polri hanya boleh masuk ke sektor sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri.
Menurutnya, tren rangkap jabatan ini tidak hanya bertujuan untuk mengakumulasi kekuasaan, tetapi juga menguatkan dominasi kapital di pemerintahan.
Ahmad Khozinudin pun memperingatkan bahwa kondisi ini bisa mengancam prinsip demokrasi dan supremasi sipil dalam pemerintahan.
“Jika dibiarkan, kita bukan hanya melihat aparat yang semakin dominan, tetapi juga pemerintahan yang semakin jauh dari kendali konstitusi dan semakin dekat dengan kendali oligarki,” tandasnya.
Jaleswari Pramodhawardani Menduga RUU TNI Dilakukan untuk Tenangkan TNI dari Polri
Jaleswari Pramodhawardani merasa janggal dengan rancangan perubahan Undang-Undang No.34 Tahun 2004 soal TNI yang fokus pada masalah usia pensiun prajurit.
Kepala Lab 45 ini menilai tiga pasal yang disasar revisi UU TNI tidak menyasar kepada perubahan yang sifatnya paradigmatik, tapi pragmatis.
Jaleswari menyayangkan DPR dan pemerintah tidak membahas soal mekanisme pengerahan pasukan, penggunaan kekuatan hingga jenis-jenis ancaman terhadap kedaulatan yang kerap dipertanyakan.
Mantan Deputi V Kantor Staf Presiden menduga Revisi UU TNI dilakukan untuk menenangkan TNI dari Polri yang banyak mendapat previlese dari rezim sebelumnya.
Kepada Tempo, Jaleswari menjelaskan kemungkinan Presiden Prabowo Subianto mengandalkan TNI dalam mejalankan pemerintahannya.
Latar belakang militer yang kuat membuat Prabowo lebih dekat dan memahami kultur militer.
Prabowo adalah jenderal bintang empat dan mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, terlepas dari pemberhentian status keprajuritannya saat rezim Orde Baru runtuh pada 1998.
Menurut Jaleswari, gaya kepemimpinan Prabowo juga sering kali mencerminkan disiplin dan ketegasan yang khas dari latar belakang militernya.
Aspek-aspek tersebut, menjadi konsekuensi bahwa Prabowo berpotensi mengandalkan militer dalam tata kelola pemerintahannya.
Jika Revisi UU TNI menjadi gerbang dominannya peran tentara dalam lima tahun ke depan, DPR dianggap gagal melakukan kontrol sipil yang objektif melalui fungsi pengawasannya.
“Apabila itu terjadi, merekalah yang paling dulu disalahkan karena tidak cermat mendengarkan aspirasi masyarakat sipil,” kata dia ketika dihubungi pada Rabu, 19 Maret 2025.
Meskipun ditentang oleh koalisi sipil, DPR akan mengesahkan revisi UU TNI pada Kamis, 20 Maret 2025.
Anggota koalisi masyarakat sipil Ardi Manto Adiputra mengatakan hasil revisi Undang-Undang TNI menunjukkan jika DPR dan pemerintah cenderung memberikan fleksibilitas pada militer.
"Ini adalah perubahan paradigma yang berupaya mereduksi supremasi sipil," kata Ardi dalam telekonferensi, Rabu, 19 Maret 2025.
Perubahan paradigma yang dimaksud Ardi terjadi pada perubahan besar-besaran sejumlah pasal dalam UU TNI.
Misalnya, Pasal 47 yang mengatur jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI.
Pasal 47 ayat (2) UU TNI sebelum revisi memberi pengecualian terhadap 10 lembaga sipil yang dapat diduduki oleh prajurit.
Namun, DPR dan pemerintah merevisi ketentuan tersebut. Aturan awal dalam Pasal 47 ayat (1)
dihapus.
Lalu jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit dijadikan ayat (1). DPR dan pemerintah juga memperluas lembaga sipil bagi prajurit TNI, dari 10 menjadi 14 kementerian/lembaga.
Daftar kementerian atau lembaga tersebut antara lain kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional; kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, dan intelijen negara.
Kemudian, siber dan atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.
Ardi khawatir perluasan jabatan sipil tersebut akan mengembalikan peran militer semakin meluas dan mereduksi supresmasi sipil dan demokrasi.
"Ini yang kami katakan sebagai kembalinya dwifungsi militer," kata Direktur Imparsial ini.
Sumber: JakartaSatu