'Pendapatan Negara Rontok, Pemerintah Sibuk Omon-Omon!'
Realisasi pendapatan negara hingga akhir Februari 2025 mengalami kemerosotan tajam. Dari Rp 400,4 triliun pada periode Januari–Februari 2024, kini hanya Rp 316,9 triliun. Penurunan sebesar 20,85% ini jelas bukan sekadar angka statistik.
Ini adalah refleksi dari semakin rapuhnya struktur perekonomian nasional yang selama ini bertumpu pada asumsi-asumsi optimistis tanpa landasan yang kuat.
Salah satu penyebab utama dari jebloknya penerimaan negara adalah anjloknya penerimaan pajak. Hingga Februari 2025, penerimaan pajak hanya Rp 187,8 triliun, jauh di bawah capaian periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 269 triliun. Artinya, ada penyusutan yang sangat dalam, mencapai 30,19%.
Penurunan ini adalah sinyal keras bahwa aktivitas ekonomi lesu, dunia usaha tertekan, dan instrumen fiskal pemerintah mulai kehilangan efektivitasnya.
Padahal, tahun lalu saja dengan target penerimaan pajak sebesar Rp 1.988,9 triliun, realisasinya hanya mencapai sekitar 97,2%. Kini, dengan target yang lebih tinggi, Rp 2.189 triliun, gap antara harapan dan realitas makin menganga.
Pemerintah menghadapi ancaman shortfall pajak yang lebih dalam, memperburuk postur fiskal yang sudah rapuh. Jika situasi ini terus dibiarkan, tekanan terhadap keuangan negara akan semakin berat.
Tak berhenti di situ, realisasi APBN hingga Februari 2025 juga mengalami defisit sebesar Rp 32,1 triliun.
Memang, jika dibandingkan dengan rencana defisit tahunan yang mencapai Rp 612 triliun, angka ini masih dalam batas yang terlihat wajar. Tetapi pola ini berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2022, 2023, dan 2024, dalam dua bulan pertama, APBN masih mencatat surplus. Kini, justru defisit. Terlihat seperti ada yang tidak beres.
Situasi ini semakin diperburuk oleh kondisi ekonomi domestik yang juga kian merosot. Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Februari hanya 213,2, turun 0,5% secara year-on-year (Yoy).
Padahal, menjelang bulan Ramadan biasanya ada lonjakan konsumsi. Tahun ini, euforia itu lenyap. Penjualan ritel justru menurun, tanda bahwa daya beli masyarakat sedang terpuruk.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga terperosok ke angka 126,4, yang merupakan titik terendah dalam tiga bulan terakhir. Rasio tabungan masyarakat turun ke level 14,7%, terendah sejak pandemi 2021.
Tabungan yang semakin menipis ini menunjukkan bahwa masyarakat mengandalkan simpanan mereka untuk bertahan hidup, bukan untuk berinvestasi atau membelanjakannya dalam kegiatan produktif.
Situasi makin parah dengan terus berlanjutnya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dengan ekonomi yang melambat dan dunia usaha yang tertekan, banyak perusahaan yang terpaksa merampingkan tenaga kerja.
Ujungnya, jumlah pengangguran bertambah, pendapatan masyarakat menyusut, dan daya beli semakin melemah.
Ini adalah spiral negatif yang seharusnya bisa dicegah jika pemerintah memiliki respons kebijakan yang tepat dan cepat.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah terlihat gagap menghadapi realitas yang ada. Tidak ada kebijakan yang konkret untuk meredam efek domino dari kontraksi ekonomi ini.
Evaluasi terhadap kinerja para menteri dan pimpinan lembaga negara pun tampaknya masih sebatas wacana. Dari pengelolaan investasi melalui Danantara, hilirisasi, food estate, bahkan Coretax.
Lantas apa yang bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat saat ini dari wacana-wacana itu? Padahal, dengan kondisi fiskal yang berantakan, reformasi kebijakan menjadi kebutuhan mendesak.
Beberapa faktor lain yang memperburuk keadaan adalah buruknya kinerja fiskal, eksekusi program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang bermasalah, serta maraknya korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Semua ini memperlihatkan ketidakefektifan manajemen negara.
Jika Presiden ingin menyelamatkan ekonomi, langkah pertama yang harus diambil adalah melakukan evaluasi besar-besaran terhadap jajaran pemerintahannya. Presiden bisa melakukan kocok ulang dari kementerian dan lembaga tersebut.
Kinerja buruk dalam pengelolaan fiskal harus segera dibenahi. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pajak perlu ditingkatkan agar kepercayaan masyarakat kembali.
Reformasi kebijakan pajak yang lebih adil dan insentif bagi dunia usaha yang terdampak perlu segera diterapkan untuk mendorong kebangkitan ekonomi.
Di tengah kondisi ini, masyarakat kelas menengah pun mulai merasakan dampaknya. Konsumsi yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi mulai menurun drastis. Ini bukan sekadar penyesuaian gaya hidup, tetapi refleksi dari keterpurukan ekonomi yang kian dalam.
Ketika kelas menengah mulai berhati-hati dalam membelanjakan uangnya, dampak terhadap perekonomian menjadi berlipat ganda.
Lebih buruk lagi, harga-harga kebutuhan pokok terus melambung seperti minyak goreng, cabai, gula dan lainnya. Inflasi pangan semakin sulit dikendalikan, sementara upah riil stagnan.
Ini menciptakan tekanan ganda bagi masyarakat yang pendapatannya tidak bertambah, tetapi biaya hidup meningkat. Ketimpangan ekonomi pun semakin tajam.
Sektor informal, yang selama ini menjadi benteng terakhir bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, juga mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
Peluang usaha semakin sempit, daya beli masyarakat yang rendah membuat perputaran uang melambat. Mereka yang sebelumnya bertahan dengan berwirausaha kecil-kecilan kini harus menghadapi kenyataan pahit: usaha mereka tidak lagi cukup untuk menopang hidup.
Fenomena ini juga terlihat dari meningkatnya angka kredit macet di perbankan. Banyak debitur yang gagal membayar cicilan karena pendapatan mereka tergerus.
Jika dibiarkan, ini bisa berujung pada krisis perbankan yang lebih luas dan mengguncang stabilitas keuangan nasional. Pemerintah juga tampak enggan untuk mengambil langkah berani dalam mengatasi pengangguran.
Sektor industri yang semestinya mampu menyerap tenaga kerja besar justru stagnan akibat kebijakan yang tidak berpihak pada produksi dalam negeri.
Alih-alih menciptakan lapangan kerja, kebijakan ekonomi yang tidak konsisten justru membuat investor ragu untuk berekspansi.
Dalam jangka pendek, pemerintah harus mempercepat stimulus fiskal yang benar-benar efektif untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Bantuan langsung tunai harus lebih terarah dan tidak sekadar menjadi instrumen politik.
Program padat karya juga harus diperbanyak agar masyarakat bisa mendapatkan akses pekerjaan dalam waktu cepat.
Untuk jangka panjang, reformasi struktural tidak bisa dihindari. Industrialisasi yang berbasis nilai tambah harus diperkuat agar ekonomi tidak terus bergantung pada sektor ekstraktif dan konsumsi semata.
Pendidikan dan pelatihan vokasi perlu diorientasikan ulang agar selaras dengan kebutuhan pasar kerja. Kolaborasi dengan negara lain untuk memberikan akses lapangan pekerjaan juga perlu ditingkatkan.
Keberanian politik untuk mengambil langkah-langkah berani dalam menyelamatkan ekonomi sangat dibutuhkan saat ini. Tanpa itu, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran masalah yang tak berkesudahan.
***
Sumber: Inilah