CATATAN POLITIK

Pembodohan Nasional di Era Jokowi: 'Ketika Abu Janda Lebih Didengar Daripada Dr. Refly Harun'

Democrazy News Indonesia
Maret 02, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Pembodohan Nasional di Era Jokowi: 'Ketika Abu Janda Lebih Didengar Daripada Dr. Refly Harun'


Pembodohan Nasional di Era Jokowi: 'Ketika Abu Janda Lebih Didengar Daripada Dr. Refly Harun'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Dalam suasana kebangsaan yang semakin carut-marut, kita menyaksikan ironi yang luar biasa. 


Sosok-sosok seperti Abu Janda, Denny Siregar, dan Rudi Kamri tampil begitu dominan di panggung nasional, seolah merepresentasikan narasi resmi kekuasaan. 


Sementara itu, para intelektual yang memiliki kapasitas keilmuan, seperti Dr. Refly Harun—seorang pakar hukum tata negara—justru tersingkir dan suaranya tenggelam dalam hingar-bingar politik yang chaos. 


Fenomena ini bukan hanya mencerminkan kemunduran intelektualitas bangsa, tetapi juga mengindikasikan upaya sistematis untuk menggiring opini publik menuju kebodohan massal.


Siapa yang Didengar, Siapa yang Dibungkam?


Dalam demokrasi yang sehat, suara intelektual seharusnya menjadi panduan bagi rakyat dan pemangku kebijakan. 


Sayangnya, di era Jokowi, yang lebih dihargai bukanlah mereka yang menawarkan pemikiran jernih berbasis data dan analisis mendalam, melainkan para “influencer politik” yang gemar membangun narasi provokatif tanpa substansi. 


Orang-orang seperti Abu Janda dan Denny Siregar lebih mendapatkan panggung karena mereka menyuarakan narasi yang sesuai dengan kepentingan penguasa.


Mereka diberi ruang luas di media sosial, diundang ke forum-forum diskusi, bahkan memiliki akses ke jaringan kekuasaan. 


Sementara itu, para akademisi dan pemikir kritis justru dianggap sebagai ancaman. 


Kritik-kritik ilmiah yang disampaikan oleh intelektual seperti Dr. Refly Harun kerap direduksi sebagai “serangan politik,” bukan sebagai bagian dari diskursus yang sehat. 


Akibatnya, publik lebih terpapar pada informasi yang menyesatkan daripada pencerahan intelektual yang seharusnya membangun kesadaran kritis.


Pembodohan Sistematis di Era Jokowi


Fenomena ini tidak terjadi secara alami, melainkan merupakan bagian dari rekayasa sosial-politik yang disengaja. Ada tiga faktor utama yang menjadi penyebabnya:


Dominasi Media yang Dikendalikan Oligarki Media mainstream saat ini bukan lagi pilar keempat demokrasi yang independen, melainkan alat propaganda penguasa. Liputan yang berimbang semakin jarang ditemukan. 


Sebaliknya, tokoh-tokoh yang mendukung pemerintah diberi sorotan lebih besar, sementara kritik dan pemikiran yang berbeda dibungkam atau didiskreditkan.


Maraknya Buzzer dan Influencer Politik Pemerintah di era Jokowi memahami bahwa pertarungan opini publik tidak lagi hanya terjadi di media konvensional, tetapi juga di media sosial. 


Oleh karena itu, jaringan buzzer dikerahkan untuk mengontrol narasi, menyerang oposisi, dan menggiring opini masyarakat. 


Alih-alih mendorong literasi politik yang sehat, yang terjadi justru adalah pembodohan massal di mana kritik dianggap sebagai ancaman dan kepatuhan dianggap sebagai kebajikan.


Kriminalisasi Pemikiran Kritis Kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi semakin tergerus. 


Mereka yang berani mengkritik pemerintah berisiko dikriminalisasi, dicap sebagai penyebar hoaks, atau bahkan dihadapkan pada tuntutan hukum. 


Kondisi ini membuat banyak intelektual memilih diam daripada harus berhadapan dengan kekuasaan yang represif.


Bangsa yang Anti-Intelektual: Menuju Kemunduran Peradaban


Bangsa yang menomorduakan intelektualitas dan justru mengedepankan suara-suara provokatif tanpa dasar keilmuan adalah bangsa yang sedang menuju kehancuran. 


Jika para pemikir dikesampingkan dan narasi politik dikendalikan oleh mereka yang minim kapasitas intelektual, maka arah pembangunan bangsa ini akan semakin jauh dari harapan.


Sejarah membuktikan bahwa negara-negara yang berkembang pesat selalu menjunjung tinggi peran para pemikir dan akademisi. Namun, yang terjadi di Indonesia saat ini justru sebaliknya. 


Kita membiarkan panggung kebangsaan dipenuhi oleh para agitator, sementara para cendekiawan kita dipaksa berjuang di pinggiran, mencari ruang untuk sekadar didengar.


Kesimpulan: Saatnya Melawan Pembodohan


Jika situasi ini dibiarkan berlarut-larut, maka kita akan menghadapi generasi yang kehilangan daya kritis dan terbiasa menerima narasi tanpa mempertanyakan kebenarannya. Bangsa ini harus kembali kepada jalur intelektualitas dan rasionalitas. 


Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan figur-figur kampung minim intelektualitas menguasai ruang publik, sementara para pemikir sejati tersingkir.


Saatnya rakyat membuka mata. Pembodohan yang terjadi saat ini bukanlah kebetulan, melainkan sebuah strategi. 


Jika kita ingin perubahan, maka kita harus mulai dari diri sendiri: dengan menolak propaganda kosong, mendukung pemikiran kritis, dan memperjuangkan kebebasan akademik serta intelektual. 


Sebab, sebuah bangsa hanya bisa maju jika mereka menghargai pemikiran, bukan sekadar suara yang menggema tanpa makna. ***


Sumber: FusilatNews