CATATAN EDUKASI HUKUM POLITIK

'Mengapa Begitu Sulit Membuktikan Dugaan Ijazah Jokowi Palsu atau Tidak?'

DEMOCRAZY.ID
Maret 15, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
EDUKASI
HUKUM
POLITIK
'Mengapa Begitu Sulit Membuktikan Dugaan Ijazah Jokowi Palsu atau Tidak?'


'Mengapa Begitu Sulit Membuktikan Dugaan Ijazah Jokowi Palsu atau Tidak?'


Dalam era informasi yang serba cepat ini, isu mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menjadi perdebatan yang terus bergulir di ruang publik. 


Sebenarnya, secara logika sederhana, jika ada tuduhan bahwa ijazah seseorang palsu, maka cara termudah untuk membuktikannya adalah dengan menunjukkan dokumen aslinya, bukan?


Namun, mengapa hal ini menjadi begitu sulit dan berlarut-larut? Ada beberapa faktor yang membuat polemik ini tidak mudah diselesaikan, mulai dari aspek politik, hukum, hingga psikologi massa.


1. Politik dan Polarisasi: Kebenaran Tak Lagi Sekadar Fakta

Dalam dunia politik, kebenaran sering kali bukan hanya soal fakta, tetapi juga soal persepsi. 


Jokowi telah menjadi figur sentral dalam politik Indonesia selama lebih dari satu dekade. 


Bagi pendukungnya, mempertanyakan ijazahnya sama saja dengan meragukan legitimasi kepemimpinannya. 


Sebaliknya, bagi lawan-lawan politiknya, isu ini adalah celah yang bisa dieksploitasi untuk mendiskreditkan kepemimpinannya.


Polarisasi politik yang semakin tajam di Indonesia membuat masyarakat terbagi dalam dua kubu yang sama-sama sulit menerima kebenaran dari perspektif yang berbeda. 


Jika ijazahnya diperlihatkan sekalipun, kelompok yang sudah terlanjur percaya bahwa ijazah itu palsu mungkin akan tetap meragukan keasliannya dengan berbagai argumen, seperti kemungkinan pemalsuan dokumen baru atau intervensi pihak berwenang.


2. Prosedur Hukum yang Berbelit dan Tidak Memadai

Secara hukum, tuduhan pemalsuan ijazah adalah hal serius. Jika ada klaim bahwa ijazah Jokowi palsu, seharusnya pihak yang menuduh dapat mengajukan bukti kuat ke pengadilan. 


Namun, yang terjadi justru sebaliknya—sering kali tuduhan hanya beredar di media sosial dan ruang publik tanpa dasar hukum yang jelas.


Di sisi lain, jika memang ada upaya hukum dari pihak terkait untuk membuktikan keaslian ijazah, prosesnya bisa menjadi sangat birokratis dan panjang. 


Misalnya, verifikasi resmi dari universitas dan sekolah terkait bisa saja terkendala regulasi yang membatasi akses terhadap dokumen akademik seseorang karena alasan privasi.


Kasus gugatan ijazah Jokowi di pengadilan pun pada akhirnya ditolak karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat. 


Hal ini menunjukkan bahwa dalam sistem hukum, klaim harus didukung dengan bukti konkret, bukan sekadar asumsi atau spekulasi.


3. Keraguan Publik dan Kepercayaan terhadap Institusi

Di negara yang tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah sering kali rendah, seperti Indonesia, isu ini menjadi lebih kompleks. 


Banyak orang percaya bahwa lembaga pendidikan, lembaga hukum, dan bahkan media bisa dipengaruhi oleh kekuatan politik tertentu. 


Akibatnya, meskipun Universitas Gadjah Mada (UGM) sudah beberapa kali menegaskan bahwa Jokowi adalah alumninya, masih ada kelompok yang tetap meragukan keabsahan pernyataan tersebut.


Rasa skeptisisme terhadap institusi ini juga diperparah oleh pengalaman buruk masyarakat terhadap kasus-kasus pemalsuan dokumen di Indonesia. 


Kasus-kasus korupsi yang melibatkan pemalsuan dokumen, termasuk ijazah palsu pejabat negara, membuat publik semakin curiga bahwa segala sesuatu bisa dimanipulasi.


4. Kurangnya Transparansi dan Komunikasi yang Tegas

Salah satu alasan mengapa isu ini terus berlarut-larut adalah kurangnya komunikasi yang tegas dan terbuka dari pihak terkait. 


Sebenarnya, jika sejak awal ada transparansi yang lebih baik—misalnya dengan mempublikasikan salinan resmi ijazah dan menyediakan akses verifikasi langsung ke lembaga pendidikan—maka kemungkinan besar isu ini tidak akan berkembang liar seperti sekarang.


Namun, dalam banyak kasus, upaya untuk membela diri dari tuduhan justru dilakukan dengan pendekatan yang tidak efektif, seperti menolak memberikan komentar atau bahkan melakukan serangan balik terhadap pihak yang mempertanyakan. 


Hal ini malah memperkuat kecurigaan dan menciptakan kesan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.


5. Efek Bola Salju di Era Media Sosial

Dalam era digital, isu-isu seperti ini sangat mudah berkembang tanpa kendali. Sebuah klaim yang belum terbukti bisa dengan cepat menjadi "kebenaran" bagi kelompok tertentu hanya karena sering diulang di media sosial. 


Fenomena ini dikenal sebagai efek bola salju, di mana informasi yang tidak diverifikasi terus bergulir dan membesar hingga sulit dihentikan.


Banyak masyarakat yang lebih percaya pada narasi yang disebarkan oleh influencer atau media tertentu daripada informasi resmi dari institusi yang berwenang. 


Bahkan jika ada klarifikasi resmi, sering kali informasi tersebut tidak sampai ke kelompok yang sudah terlanjur percaya dengan narasi sebelumnya.


Haruskah Kita Terus Mempertanyakan?

Secara logika, jika benar-benar ada pemalsuan ijazah, seharusnya ada bukti kuat yang bisa dibawa ke ranah hukum dan diproses secara transparan. 


Namun, dalam dunia yang sudah sangat terpolarisasi, kebenaran sering kali kalah oleh persepsi.


Kasus ini mengajarkan kita bahwa kepercayaan publik terhadap institusi harus diperkuat dengan transparansi, komunikasi yang lebih baik, dan pendidikan literasi media yang lebih luas agar masyarakat tidak mudah termakan hoaks. 


Tanpa hal-hal tersebut, isu serupa akan terus muncul dan menjadi alat politik yang tidak pernah benar benar tuntas.


Pada akhirnya, kita sebagai masyarakat harus lebih kritis dalam menyikapi informasi yang beredar. Jika ada bukti kuat, bawalah ke ranah hukum. 


Jika tidak, maka kita harus belajar membedakan antara kritik yang berbasis fakta dan sekadar isu politik yang dikapitalisasi untuk kepentingan tertentu. ***

Penulis blog