CATATAN POLITIK

Membubarkan Organisasi: 'Catatan Sejarah Dari Bung Karno, Pak Harto, Hingga Jokowi'

Democrazy Media
Maret 02, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Membubarkan Organisasi: 'Catatan Sejarah Dari Bung Karno, Pak Harto, Hingga Jokowi'


Membubarkan Organisasi: 'Catatan Sejarah Dari Bung Karno, Pak Harto, Hingga Jokowi'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Pembubaran organisasi politik dan sosial keagamaan bukanlah hal baru dalam sejarah politik Indonesia. 


Dari era Sukarno hingga Joko Widodo, langkah ini dilakukan dengan alasan yang berbeda-beda, tetapi sering kali berakar pada pertimbangan politik, keamanan, dan stabilitas negara. 


Dalam catatan sejarah, Bung Karno membubarkan Partai Masyumi, Pak Harto membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Jokowi membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) serta Front Pembela Islam (FPI). 


Masing-masing pembubaran ini memiliki konteks historis dan politis yang menarik untuk dikaji lebih dalam.


Bung Karno dan Pembubaran Masyumi

Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) adalah salah satu partai politik besar yang lahir setelah Indonesia merdeka. 


Partai ini memiliki basis Islam yang kuat dan banyak didukung oleh kalangan intelektual Muslim. 


Namun, pada tahun 1960, Presiden Sukarno secara resmi membubarkan Masyumi dengan tuduhan bahwa partai tersebut terlibat dalam pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra. 


Bung Karno yang saat itu menggalakkan Demokrasi Terpimpin melihat Masyumi sebagai ancaman politik karena oposisi mereka terhadap kebijakan pemerintah.


Pembubaran ini menimbulkan perdebatan panjang. Para pendukung Masyumi menilai tindakan ini sebagai bentuk pemberangusan demokrasi dan kebebasan politik, sementara pihak pemerintah beranggapan bahwa langkah ini diperlukan untuk menjaga stabilitas negara di tengah gejolak politik pasca-revolusi.


Pak Harto dan Pembubaran PKI

Peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 menjadi titik balik dalam sejarah politik Indonesia. 


Setelah insiden yang menewaskan enam jenderal Angkatan Darat, PKI (Partai Komunis Indonesia) dituduh sebagai dalang di balik kudeta yang gagal tersebut. 


Jenderal Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad, mengambil langkah tegas dengan melakukan pembersihan terhadap simpatisan PKI.


Pada tahun 1966, setelah Soeharto naik ke tampuk kekuasaan melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), PKI secara resmi dibubarkan dan dilarang. 


Pembubaran ini tidak hanya berdampak pada organisasi itu sendiri tetapi juga memicu pembantaian massal terhadap mereka yang diduga sebagai anggota atau simpatisan PKI. 


Rezim Orde Baru kemudian menginstitusionalisasikan larangan terhadap PKI dalam berbagai regulasi hukum dan konstitusi, menjadikannya sebagai simbol bahaya laten komunisme di Indonesia.


Jokowi dan Pembubaran HTI serta FPI

Di era kepemimpinan Joko Widodo, langkah pembubaran organisasi juga kembali terjadi. 


Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan pada tahun 2017 melalui Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017. 


Pemerintah menilai bahwa HTI bertentangan dengan ideologi Pancasila dan mengancam keutuhan NKRI karena mengusung konsep khilafah yang dianggap tidak sejalan dengan sistem negara Indonesia.


Selain HTI, Front Pembela Islam (FPI) juga dibubarkan pada tahun 2020. FPI, yang selama ini dikenal dengan aksi-aksi demonstratif dan kadang kontroversial dalam mengusung nilai-nilai Islam, dinilai sebagai organisasi yang melanggar aturan dan kerap menimbulkan keresahan sosial. 


Keputusan pembubaran ini diambil setelah adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota FPI serta dugaan keterkaitan dengan radikalisme.


Analisis dan Kesimpulan

Pembubaran organisasi politik atau keagamaan di Indonesia selalu berkelindan dengan kepentingan politik penguasa dan situasi keamanan nasional. 


Bung Karno membubarkan Masyumi untuk mengamankan posisinya dalam Demokrasi Terpimpin, Soeharto membubarkan PKI demi membangun stabilitas Orde Baru, dan Jokowi membubarkan HTI serta FPI dengan alasan menjaga keutuhan Pancasila dan keamanan nasional.


Namun, pembubaran organisasi juga sering kali memunculkan perdebatan. Ada yang melihatnya sebagai langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas negara, tetapi ada pula yang menilai sebagai bentuk represi politik yang membatasi kebebasan berserikat dan berpendapat.


Sejarah mencatat bahwa setiap pemimpin memiliki caranya sendiri dalam menghadapi organisasi yang dianggap berseberangan dengan kepentingan negara. 


Pertanyaannya adalah, apakah tindakan ini benar-benar demi kepentingan nasional, ataukah hanya cara penguasa untuk mempertahankan dominasi politik mereka? Sejarah akan terus mencatat dan rakyat yang akan menilai. ***


Sumber: FusilatNews

Penulis blog