CATATAN POLITIK

Gibran dan Beban Kepemimpinan: 'Tidak Mampu Mengimbangi Prabowo'

DEMOCRAZY.ID
Maret 12, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Gibran dan Beban Kepemimpinan: 'Tidak Mampu Mengimbangi Prabowo'


Gibran dan Beban Kepemimpinan: 'Tidak Mampu Mengimbangi Prabowo'


Oleh: Damai Hari Lubis

Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)


Dari sisi adab moralitas, Gibran Rakabuming Raka telah menjadi subjek hukum dalam kasus akun Kaskus bernama Fufu Fafa, yang dianalisis oleh seorang pakar IT sebagai akun dengan konten yang “kontroversial” hingga masuk kategori tremendous moral decay. Kasus ini dikhawatirkan berkontribusi terhadap kemerosotan moral generasi muda. 


Selain itu, dalam aspek hukum, faktor usia Gibran saat pencalonannya menambah catatan buruk dalam sejarah hukum di Indonesia.


Mayoritas masyarakat Indonesia menyayangkan keberadaan Gibran sebagai Wakil Presiden RI hingga 2029, terlebih jika nantinya ia maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2029. 


Keberhasilannya dalam Pilpres 2024 dianggap tidak terlepas dari campur tangan politik Presiden Jokowi, ayah kandungnya, yang secara terang-terangan mendukung Gibran melalui berbagai manuver, termasuk keterlibatan Anwar Usman—adik iparnya—di Mahkamah Konstitusi. 


Fakta bahwa Anwar Usman diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK akibat pelanggaran kode etik memperkuat dugaan nepotisme yang mencederai demokrasi.


Dari perspektif kompetensi, Gibran menunjukkan keterbatasan dalam ilmu pengetahuan dan wawasan kebangsaan. 


Keberadaannya di posisi strategis berpotensi merusak sistem politik, ekonomi, serta budaya bangsa. 


Hal ini dapat diukur dari latar belakang pendidikannya yang tidak mencerminkan kesiapan untuk memimpin negara.


Sebagai contoh, beberapa pernyataan publik Gibran menunjukkan keterbatasan pemahamannya:


1. Saat kampanye Pilpres 2024, Gibran menyarankan ibu hamil mengonsumsi asam sulfat, padahal zat tersebut merupakan bahan kimia berbahaya.


2. Dalam pidato resmi, ia sering menggunakan diksi tidak tepat, seperti “para para kyai kyai, para para guru guru, dan para para tokoh tokoh.”


Agar pemerintahan berjalan efektif dan harmonis, Prabowo sebagai Presiden idealnya meminta Gibran secara persuasif untuk mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. 


Jika Gibran menolak, opsi hukum dan politik di DPR RI dapat digunakan agar MPR RI mengeluarkan TAP MPR tentang pemberhentiannya, dengan merujuk pada TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara serta UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.


Jika Prabowo mengambil langkah ini, pemerintahan akan lebih stabil, dan ia dapat fokus menjalankan tugas kenegaraan tanpa beban politik yang ditimbulkan oleh Gibran. 


Keputusan tersebut juga akan memperkuat citra Prabowo sebagai pemimpin yang mengutamakan kepentingan bangsa, serta berpotensi menarik dukungan politik lintas golongan dan meningkatkan kepercayaan investor.


Pada akhirnya, menghindari figur pemimpin dengan karakteristik seperti Gibran merupakan tanggung jawab moral Presiden Prabowo sebagai kepala negara dan pemimpin tertinggi bangsa. 


Jika Prabowo berhasil menjalankan diskresi politik dengan menyingkirkan Gibran dari pemerintahan, hal ini akan memperkuat legitimasi kepemimpinannya serta memberikan dampak positif bagi stabilitas nasional dan kemajuan Indonesia.


Artikel ini merupakan bentuk sumbangsih penulis sebagai pakar dalam kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum serta peran serta masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. ***

Penulis blog