CATATAN POLITIK

Dua Mayor dan Standar Ganda: 'Antara Politik dan Jabatan Sipil'

DEMOCRAZY.ID
Maret 14, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Dua Mayor dan Standar Ganda: 'Antara Politik dan Jabatan Sipil'


Dua Mayor dan Standar Ganda: 'Antara Politik dan Jabatan Sipil'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Dua sosok mayor di Indonesia mencerminkan wajah standar ganda dalam dunia birokrasi dan politik negeri ini. 


Mayor Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memilih mundur dari dinas ketentaraan demi terjun ke dunia politik. 


Sementara itu, Letkol Teddy, yang juga seorang perwira TNI, tetap menduduki jabatan sipil tanpa meninggalkan status kemiliterannya. 


Bahkan, alih-alih mundur, ia justru mendapatkan kenaikan pangkat. 


Fenomena ini mengundang pertanyaan besar tentang aturan dan etika dalam birokrasi Indonesia.


Ketika AHY mengundurkan diri dari TNI pada tahun 2016, keputusannya sempat menuai kontroversi. 


Banyak pihak yang menilai bahwa langkah tersebut merupakan hak pribadinya untuk mencari jalur pengabdian lain di luar militer. 


Namun, aturan dalam ketentaraan jelas menyebutkan bahwa prajurit aktif tidak boleh berpolitik. 


Dengan demikian, keputusan AHY untuk keluar dari TNI sebelum terjun ke dunia politik mencerminkan kepatuhannya terhadap regulasi yang berlaku.


Sebaliknya, kasus Letkol Teddy menunjukkan ironi dalam penerapan aturan tersebut. Ia tetap berada dalam struktur militer tetapi diberikan jabatan di ranah sipil. 


Tidak hanya itu, ia bahkan mendapatkan promosi dalam struktur TNI, seolah-olah jabatannya di ranah sipil adalah bagian dari tugas militer. 


Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah hukum di Indonesia hanya berlaku untuk sebagian orang? 


Jika prajurit dilarang berpolitik dan harus memilih jalur pengabdian, mengapa ada perwira yang tetap bisa berada di posisi sipil tanpa kehilangan status kemiliterannya?


Fenomena ini mencerminkan wajah nepotisme dan kepentingan politik yang masih kuat dalam birokrasi Indonesia. 


Dalam kasus AHY, regulasi ditegakkan secara ketat, sementara dalam kasus Mayor Teddy, aturan tampak lebih fleksibel sesuai kepentingan. 


Hal ini mengingatkan kita bahwa hukum dan regulasi sering kali hanya menjadi alat politik yang diterapkan secara selektif.


Pada akhirnya, kasus ini bukan sekadar tentang dua mayor, tetapi tentang keadilan dalam penerapan aturan. 


Jika aturan harus ditegakkan, maka seharusnya berlaku untuk semua, tanpa memandang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. 


Jika tidak, maka kepercayaan publik terhadap institusi negara akan terus terkikis, dan praktik standar ganda akan semakin memperburuk kondisi birokrasi Indonesia. ***

Penulis blog