Artefak Baru Kasus Ijazah Palsu Jokowi – “Kurang Bukti Hukum Apalagi?”
Isu terbaru yang kembali mengguncang adalah dugaan kepalsuan ijazah Jokowi.
Viral di berbagai media sosial dan menjadi pembicaraan hangat, kasus ini semakin memperkuat tuduhan bahwa Jokowi bukan hanya gagal sebagai pemimpin, tetapi juga berbohong kepada rakyat Indonesia sejak awal.
Sejatinya, persoalan ini bukan sekadar isu politis, melainkan juga kasus hukum yang semestinya ditindak secara serius oleh aparat penegak hukum.
Tagline “Tangkap Jokowi – Adili Jokowi – Gantung Jokowi” bukan sekadar luapan emosi spontan, melainkan akumulasi kekecewaan publik terhadap kepemimpinan Joko Widodo.
Ini mencerminkan kemarahan yang mengakar dari berbagai persoalan yang mencuat selama pemerintahannya, mulai dari kebijakan yang dinilai gagal, ketidakadilan hukum, korupsi yang merajalela, hingga tuduhan kebohongan terkait integritas pribadi.
Akumulasi Kegagalan dan Kebohongan
Kritik terhadap Jokowi mencakup berbagai aspek. Dari sisi ekonomi, janji-janji kampanye yang pernah diucapkannya, seperti pertumbuhan ekonomi 7%, tidak pernah terwujud.
Alih-alih mencapai target ambisius tersebut, Indonesia justru menghadapi tantangan ekonomi serius, termasuk utang luar negeri yang semakin membengkak dan ketergantungan pada investasi asing yang tidak selalu menguntungkan rakyat.
Di sektor hukum dan demokrasi, kebijakan serta tindakan pemerintahannya kerap menunjukkan kecenderungan otoriter.
Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pembiaran terhadap korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat di lingkaran kekuasaannya, hingga represi terhadap kritik publik menjadi catatan hitam yang sulit dihapus.
Dalam berbagai kesempatan, aparat penegak hukum justru digunakan untuk membungkam oposisi dan kritik, bukan untuk menegakkan keadilan.
Aparat Hukum dan Tanggung Jawabnya
Di negara yang menjunjung supremasi hukum, seharusnya tidak ada individu yang kebal terhadap aturan, apalagi seorang presiden.
Aparat penegak hukum—baik kepolisian, kejaksaan, maupun Mahkamah Konstitusi—seharusnya bertindak proaktif dalam menyelidiki kasus ini, bukan malah menutup mata atau mencari cara untuk melindungi Jokowi.
Jika hukum benar-benar dijalankan secara adil, seharusnya penyelidikan segera dilakukan dengan memverifikasi dokumen akademik yang bersangkutan.
Jika terbukti ada pemalsuan, maka langkah hukum yang tegas harus diambil, termasuk pencabutan hak-hak politiknya dan pengadilan atas kejahatan tersebut.
Namun, di bawah pemerintahan Jokowi, hukum kerap kali menjadi alat kekuasaan, bukan sebagai instrumen keadilan.
Kesimpulan: Mengapa Publik Menuntut Pertanggungjawaban?
Tagline “Tangkap Jokowi – Adili Jokowi – Gantung Jokowi” adalah bentuk ekspresi kekecewaan yang telah mencapai puncaknya.
Ini bukan sekadar retorika, tetapi refleksi dari berbagai kegagalan yang nyata dan semakin sulit untuk disangkal.
Publik menuntut pertanggungjawaban bukan karena kebencian personal, tetapi karena merasa dikhianati oleh sosok yang pernah mereka percayai.
Tindakan hukum harus segera diambil, terutama dalam kasus ijazah palsu yang berpotensi menjadi bukti kuat atas kebohongan yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Jika tidak, maka hukum di negeri ini hanya akan menjadi alat mainan bagi para penguasa, dan kepercayaan publik terhadap institusi negara akan semakin tergerus.
Saatnya aparat penegak hukum membuktikan bahwa keadilan masih ada di Indonesia, bukan hanya untuk rakyat kecil, tetapi juga bagi pemimpin tertinggi negara ini. ***
Sumber: FusilatNews