Alhamdulillah Gugatan TPUA 'Dimenangkan' Oleh Dua Alumnus UGM Asli!
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Pantasan rezim saat Jokowi presiden gencar cawe-cawe untuk menghapuskan ketentuan terkait pasal ijazah palsu yang ada didalam UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas yang terkait pasal 69.
Sehingga RUU Cipta Kerja (omnibus law) membuat publik heboh karena bakal menghilangkan Pasal 67-69 dan kenyataannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja), pasal 67-69 benar dihilangkan.
Adapun sebelumnya di dalam pasal UU Sisdiknas yang dihapus oleh Perpu Cipta Kerja itu meliputi sanksi pidana bagi lembaga pendidikan yang mengeluarkan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak, memberikan sebutan guru besar atau profesor tanpa kesesuaian ketentuan, lembaga pendidikan yang berjalan ilegal hingga perseorangan yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi serta gelar tanpa memenuhi ketentuan persyaratan.
Pantasan MK yang digawangi Anwar Usman adik ipar Jokowi (ada apa) mengabulkan Judicial Review tentang penghapusan pasal 14-15 KUHP Tentang Penyebaran atau delik Penyampaian Keterangan Bohong yang Menimbulkan Kegaduhan, pasal yang sempat menjerat dan memenjarakan Dr. Habib Rizieq Shihab, seorang ulama besar di tanah air yang dituduh melanggar pasal a quo Menyampaikan Keterangan Bohong “saya sehat” saat musim pagebluk corona 19, padahal fakta hukumnya tidak ada kegaduhan yang lahir, justru bisa jadi para pendukung Jokowi yang sengaja membuat gaduh, lalu tuduhan bisa-bisanya di split menjadi dua dakwaan, satunya lagi sekedar melanggar prokes Covid 19 yang ketentuannya sekelas norma, “yang mudah-mudahan berlaku (ius konstituendum) atau cita-cita hukum), yang seharusnya cukup dengan denda.
Sedangkan kedudukan hukum pada Pasal Kebohongan 14-15 KUHP a quo yang sebenarnya andai proporsional penggunaannya amat vital dibutuhkan, jika benar-benar objektif, faktual ada perbuatan kebohongan dan implikasi kegaduhan dalam wujud kerugian yang besar moril maupun materil dan secara fisik pada masyarakat, sehingga pantas dikenakan kepada pejabat publik dan model politisi terindikasi kuat publik rusak moral (moral damage) model eks presiden ke-7 sosok big liar karena pembohong besar atau the king of lip service dan 2 (dua) tokoh bertopeng intelekual akademikus (moral hazard) yakni, trio tokoh (pejabat) publik, Jokowi dan dua Prof. Dr. Pratikno eks Rektor UGM dan Eks Menteri Sekretaris Kabinet Era Jokowi (saat ini Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) dan Prof. Dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K), Ph.D. (rektor UGM saat ini).
Sehingga dihapusnya pasal 14-15 KUHP sebagai ius konstitutum, justru wujud hukum positif (hukum yang harus berlaku), sehingga mendrop pasal a quo, adalah bentuk kesengajaan pendegradasian kepastian hukum dan manfaat hukum dari sisi efek jera, sehingga apakah berkemungkinan merupakan permainan politik level tinggi (bargaining) atau Jokowi manfaatkan Anwar Usman berkebetulan ada aktivis yang melakukan JR (Haris Azhar dan Fatiah) terhadap pasal 14 dan 15 KUHP dimaksud dan hanya berkebetulan agar Jokowi dan “kedua terduga pelacur intelektual” dimaksud terbebas dari tuntutan hukuman sebagai Big Liar terhadap 280 juta bangsa ini? Sehingga mereka justru terbebas tidak seperti ‘perangkap kera effect’ yang dipasang Jokowi terhadap BTM sang jurnalis junior penulis Jokowi Undercover jilid 1 dan 2, sehingga dipenjara sebanyak 2 (dua) kali.
Pantasan Jokowi saat menjabat Presiden dan hingga kini nampak tidak serius membela nama baik UGM sebagai kampus almamater mereka, karena dirinya hanya lulusan khayalan, hanya obsesi abnormal, selaku alumnus daripada Fakultas Kehutanan UGM sekedar untuk merencanakan kejahatan, termasuk kedua tokoh dari trio moral hazard sama, tidak serius membela kampus mereka?
Apa buktinya? Jokowi maupun kedua intelektual dader penyertanya, tidak pernah melaporkan para penggugat prinsipal maupun kelompok Pengacara-advokat TPUA yang terus memborbardir Jokowi baik secara litigasi, melalui Video youtube, artikel media online, bahkan muncul di tic toc dan nerbagai medsos lainnya, perihal narasi JOKOWI IJASAH PALSU ! ADILI JOKOWI ! HUKUMAN YANG PANTAS UNTUK JOKOWI ADALAH SEUMUR HIDUP 3 KALI, ATAU VONIS MATI MELALUI EKSKUSI TEMBAK MATI !
Lalu, kenapa “mereka” tak mau melapor, selain ini delik aduan, karena mereka (trio) dan para oknum penyidik Polri penjilat Jokowi tentu pahami, andai mereka laporkan, maka Ijasah Jokowi yang asli tapi palsu harus ditampilkan (terpaksa publis), dan bermuara dihadapan hakim persidangan, tentu ijazah asli Jokowi mesti diperkuat spesialis (expert) yang bersertifikat dan didapati hasil dari laboratorium kriminologi forensik, bahwa itu benar adalah Ijasah asli produk diknas, yang dibuat pada tahun 1985 dan termasuk usia tanda tangan dan stempel UGM, termasuk dihadiri banyak para saksi, (a charge dan a de charge) dan para ahli, saksi pemilik rumah kos Jokowi dan teman sebangku atau sekelas, senat kelas, serta bakal dimintakan oleh terdakwa dari para saksi a de chrge buku wisuda fakultas dan wisuda se universitas UGM yang juga jika ada selain dicocokan dengan arsip yang asli milik alumnus asli UGM punya dan harus mendapatkan kebenarannya dari Labkrimfor.
Maka Pantasan, UGM diam seribu bahasa, ketika alumni asli Fakultas Teknologi UGM Rismon Hasiholan Sianipar, ahli digital fotensik, meyakini ijazah S1 Kehutanan Presiden Jokowi yang diterbitkan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 1985 adalah 100 milyar persen adalah palsu, malah yang ada dukungan pembenaran hasil analisa Rismon oleh pakar telematika dan ahli IT, Roy Suryo, yang juga asli lulusan UGM merujuk pada unggahannya di akun X @KRMTRoySuryo2 pada 25 Februari 2020, yang memuat lampiran halaman buku wisuda tahun 1985, yang sudah sang pakar tengarai palsu.
Maka, “Alhamdulillah”, kata Roy Suryo apa yang didalilkan Rismon saat ini identik, sistematis, dan sangat sesuai dengan analisis yang sudah pernah saya sampaikan sekitar lima tahun lalu,”
Maka, penulis selaku Koordinator TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) serta penulis selaku drafter tunggal naskah Gugatan Ijazah Jokowi Palsu, bersama Ketua Umum TPUA Prof Dr. Eggi Sudjana dan segenap Pengurus berikut klien prinsipal BTM, Hatta Taliiwang, Muslim Arbi, Taufik Bahauddin serta Rizal Fadillah dan seluruh aktivis para pejuang aktivis (supporter) mengucapkan Alhamdulillah, serta menyampaikan terima kasih kepada kedua pakar Dr. Roy Suryo dan Dr Rismon Sianipar, dengan ucapan terima kasih,” telah memenangkan gugatan TPUA terhadap Jokowi” saat mash berkuasa (Presiden Ri) onrechtmatigeoverheidsdaad di pengadilan Negeri Jakarta Pusat, oleh TPUA Jokowi Ijasah S.1 Palsu dari Fakultas Kehutanan UGM, sehingga ‘kemenangan TPUA’ ini akan menjadi bukti materil pada perkara pidana yang membutuhkan kebenaran materil (materiele waarheid).
***
'Bareskrim Harus Segera Usut Dugaan Ijazah Palsu Jokowi!'
Oleh: M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Kasus dugaan ijazah palsu Jokowi bukan mereda dengan telah lengsernya Jokowi, justru semakin hangat bahkan panas.
Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) telah melakukan upaya hukum baik melalui gugatan perdata maupun pidana.
Untuk perdata pertama melalui PN Jakpus yang terpaksa dicabut karena Penggugat Bambang Tri ditangkap, kedua melalui PN Jakpus kembali dengan Putusan Niet Onvankelijk verklaard (NO) bahwa Pengadilan tidak berwenang.
Adapun proses pidana pertama melalui kuasa pendampingan di Surakarta saat Bambang Tri dan Gusnur diadili dengan tuduhan menyebarkan hoax soal ijazah palsu Jokowi. Putusan in kracht tidak mempersoalkan masalah ijazah tetapi ujaran kebencian.
Menyebarkan hoaks ijazah palsu tidak terbukti. Atas dasar ini Bambang Tri dan tiga penggugat lain mengajukan gugatan perdata lagi.
Munculnya informasi baru dan viral di media sosial analisis ahli forensik digital Dr Rismon H Sianipar dalam konten Balige Academy tentang ijazah dan skripsi Jokowi yang diyakininya 100 milyar % palsu itu menjadi menarik dan mesti mendapat respons dari penegak hukum.
Bagi TPUA hal ini harus menjadi bukti yang dapat ditambahkan melengkapi bukri terdahulu di Bareskrim Mabes Polri.
Bagi Bareskrim Mabes Polri sendiri, baik menunggu tambahan bukti TPUA, maupun langsung bergerak dengan perkembangan ini menindaklanjuti laporan/pengaduan TPUA terdahulu. Yang jelas, bukti dari indikasi palsunya ijazah Jokowi semakin kuat.
Bareskrim tidak boleh membiarkan keadaan ini berlarut atau berkembang semakin liar.
UGM sebagai pihak yang “tertuduh” dalam kasus ini juga tidak boleh tinggal diam atau telah merasa puas dengan penjelasan dahulu.
Temuan atau sangkaan baru dari ahli forensik digital yang kebetulan juga alumni UGM sendiri, patut disikapi pula.
Bijak jika membentuk tim untuk mengkaji kebenaran informasi lalu umumkan hasilnya dengan jujur dan transparan.
Dr Rismon Sianipar telah terang-terangan menyalahkan Rektor UGM Prof Dr dr Ova Emilia, SpOG dan menantangnya.
Hal ini patut dijawab demi reputasi dan penghindaran dari sanksi hukum di kemudian hari. Posisinya sudah “to be or not to be”.
Menurutnya 100 milyar % palsu, dan ini harus diklarifikasi. Ayo keluar, bu Rektor hadapi alumnus UGM nya itu.
Sementara itu aspek hukum juga berjalan simultan. Jokowi memang payah. Hampir bobrok di semua sisi baik health mental, ijazah, korupsi maupun nepotisme.
Sebelumnya TPUA bersama elemen lain telah melaporkan/mengadukan delik nepotisme. Sayangnya Bareskrim nampaknya masih sungkan pada Jokowi.
The final attack TPUA dan berbagai elemen perjuangan ke UGM Yogyakarta bulan Syawal besok diharapkan menjadi ajang “halal bil halal” pembuktian kejujuran UGM kepada para aktivis dan rakyat Indonesia.
Mengakhiri gonjang ganjing, isu atau tudingan kepada Jokowi soal ijazahnya. Awal dari UGM berakhir di UGM.
The semi final attack adalah desakan Bareskrim untuk segera bergerak dan bertindak.
Mencari dan memeriksa UGM lengkap mengenai administrasi valid kelulusan Jokowi. Panggil langsung Jokowi ke Mabes Polri untuk pemeriksaan.
Informasi Dr Rismon yang pembuktiannya akan diserahkan TPUA kepada Bareskrim dapat menjadi acuan.
Bareskrim Mabes Polri adalah pembuka jalan, sedangkan UGM harus menyelamatkan reputasi institusi dengan berlaku jujur, seksama, dan meminta maaf.
Akakankah soal ijazah palsu ini akan menjadi pintu realisasi dari desakan rakyat agar Jokowi ditangkap dan diadili ? Mungkin saja.
Tidak ada kejahatan yang tertutupi selamanya. ***