Di Balik 'Retorika' Corbuzier Tidak Ambil Gaji Stafsus
Oleh: Agustinus Edy Kristianto
Ada dua alasan mengapa Deddy Corbuzier (DC) bersumpah tak akan mengambil gajinya sebagai staf khusus Menhan:
1. Ia tidak butuh duit gaji;
2. Masyarakatlah yang butuh uang, dan kalau mau bicara gaji, ia mengklaim banyak membantu orang tetapi "tidak dikontenin." (Detikcom, 14/2/2025).
Heran saya, apa maksud kalimat influencer yang, kata Kemenhan, dijadikan stafsus karena keahlian dan pengalamannya di bidang komunikasi media sosial itu? Inikah logika kalimat seorang ahli komunikasi?
Tapi, saya reka, dia mau bilang bahwa dia sudah kaya sebelum menjadi stafsus, makanya bisa membantu orang.
Buktinya, dia meminta netizen mengecek sendiri berapa net worth (kekayaan bersih—sayangnya banyak media salah menulis sebagai “network”) dan pajak pribadinya yang dibayarkan.
Net worth adalah total aset dikurangi total kewajiban (utang, dll.). Kekayaan bersih DC ditaksir Rp431,5 miliar (Net Worth Spot).
Mencapai US$15,6 juta (Youtubers.me). Namun, sumber-sumber ini hanyalah estimasi media dan belum tentu akurat.
Yang lebih menarik, mari kita lihat pajak pribadinya. DC disebut membayar PPh Rp8 miliar pada 2021 (CNBC Indonesia, 22/2/2022).
Dengan asumsi ia masuk lapisan tarif progresif tertinggi 35%, penghasilan kena pajaknya berkisar Rp22,8 miliar per tahun. Ini menarik.
Dengan estimasi kekayaan sekian ratus miliar tetapi penghasilan kena pajak “hanya” segitu, kita bisa belajar soal manajemen pajak—tentu yang legal—untuk mendapatkan potongan dan pengurangan—bahasa kerennya dalam rangka "optimalisasi pajak."
Lalu bagaimana dengan pendapatan stafsus? Taruhlah estimasi tertinggi pendapatan (gaji pokok, tunjangan kinerja, dll.) sebagai stafsus Rp35 juta per bulan (Rp425 juta per tahun), maka itu cuma nol koma sekian dari kekayaan bersihnya.
Kendati begitu, saya pikir, pencitraan orang kaya yang masuk birokrasi lalu berkata tak akan mengambil gaji adalah lagu usang yang seharusnya tak membuai masyarakat sebagai sesuatu yang patut dipuji.
Sebaliknya, pejabat/ASN harusnya hidup dari pendapatan yang sah dan layak supaya mereka bisa kita mintai pertanggungjawaban atas integritas dan kinerjanya.
Model DC yang bangga betul tidak mengambil gaji justru seharusnya membuat kita waspada: ada tujuan lebih besar apa di baliknya?
Sesungguhnya, kita perlu memaksa DC menerima gaji supaya kita bisa menilai dia sesuai alasan dan kapasitas pengangkatannya.
Tugas stafsus adalah memberi saran dan pertimbangan melalui penugasan yang bersifat khusus selain bidang tugas unsur-unsur organisasi kementerian (Pasal 70 Perpres No. 140/2024).
Saya bayangkan dua saran dan pertimbangan yang bisa kita nilai dari DC sebagai stafsus Menhan, yakni di bidang pengelolaan media sosial (terutama podcast) dan komunikasi mental (karena ia mentalis-akademis).
Bagaimana kualitas saran dan pertimbangannya? Apakah saran dan pertimbangannya diterima user-nya?
Apa efek positifnya bagi bangsa ini? Jika tidak ada efeknya, bukankah pemborosan belaka jabatan ini?
Misalnya, melihat fenomena orang di medsos yang makin suka teriak-teriak dalam diskusi, bahkan gebrak-gebrak meja—malah sampai naik meja pengadilan—perlu disarankan dan dipertimbangkan penggunaan perangkat audio berkualitas yang bisa menangkap suara tanpa harus berteriak-teriak di lingkungan Kemenhan.
Meski, tentu saja, meja yang kokoh untuk digebrak tetap diperlukan untuk mengantisipasi kekalapan.
Dalam hal komunikasi mental, mungkin ia bisa memberi saran dan pertimbangan tentang bagaimana cara berkomunikasi secara mental supaya korban dan keluarga pelanggaran HAM masa lalu—kini dan sekarang—bisa cepat melupakan kasusnya.
Jika DC memberikan saran dan pertimbangan di luar area keahlian dan pengalamannya, maka kita patut curiga: saran dan pertimbangan lain apa yang ia berikan?
Apalagi, ia adalah stafsus di kementerian dengan APBN 2025 yang termasuk jumbo: Rp139 triliun.
Takutnya, ia malah bertindak (dijadikan) sebagai “perantara nonformal” elite bisnis dan politik industri pertahanan untuk ‘mengolah’ proyek. Semoga tidak!
Sebab, selain bisnis skincare, sektor pertahanan juga sedang moncer dan rawan korupsi. Jangan sampai cita-cita konstitusi untuk membentuk masyarakat adil dan makmur malah menyimpang menjadi membentuk masyarakat yang cakep dan kuat—dikorupsi pula.
Sumpah DC untuk tidak mengambil gaji bukanlah bentuk kepahlawanan modern. Ia tak mesti dipuji karena tidak memberikan pendidikan politik yang baik untuk publik.
Padahal, sejalan dengan teori Antonio Gramsci, hegemoni kekuasaan tidak hanya berlangsung lewat paksaan (coercion), tetapi juga lewat persetujuan (consent).
Ada simbiosis mutualisme antara DC yang seorang influencer (12,8 juta pengikut IG dan 24 juta YouTube) dengan politisi dan elite bisnis yang hendak melestarikan kekuasaan.
Politisi butuh elektoral; pemerintah butuh mengamankan kebijakan; elite bisnis butuh cuan; DC butuh akses lingkaran elite, branding, informasi strategis, koneksi, dsb. (aset nonfinansial) untuk membuat net worth-nya semakin menyala, abangku!
Kita perlu membedakan antara: kekuasaan (sifat pengendalian satu pihak terhadap pihak lain, termasuk pengendalian opini publik via medsos); jabatan (posisi resmi dalam suatu sistem); dan kewenangan (hak legal untuk melakukan tindakan).
Politik—dalam pengertian tertentu—adalah cara berbagai jenis kekuasaan ditransaksikan.
Yang terjadi adalah masyarakat terbuai dan memberikan persetujuan nirkritik (bahkan saat ini rela membayar biaya subscribe akun ybs Rp29 ribu/bulan) tanpa merasa dipaksa terhadap kebijakan pemerintah.
Padahal justru transparansi dan akuntabilitas kebijakan pemerintah itulah yang penting disorot.
Jika ada upaya kritis untuk mempertanyakan suatu hal yang menyimpang, influencer-birokrat ini menjelma bak “priyayi baru kolonial” yang memberikan “pengertian” kepada masyarakat tentang pentingnya ketaatan terhadap pemimpin dan bersikap nrimo.
Ia pengalih perhatian masyarakat dari sesuatu yang penting menjadi ecek-ecek—macam—sinetron pejabat tidak ambil gaji hingga operasi dagu pesohor.
Jika diteruskan situasi seperti itu, bukan tidak mungkin si paling “smart people” ini justru membuat masyarakat tidak smart.
Kalau masyarakat tidak smart, bagaimana mau Indonesia Emas? Salam! ***