Puncak Buruknya Sistem Politik Indonesia: 'Melahirkan Jokowi dan Anaknya Sebagai Pemimpin Negeri'
Amerika Serikat sering dipandang sebagai contoh ideal dalam pelaksanaan sistem presidensial. Konstitusinya yang kuat, mekanisme check and balances yang kokoh, dan pemisahan kekuasaan yang jelas menjadikan sistem ini berfungsi secara optimal.
Presiden di Amerika dipilih langsung oleh rakyat melalui sistem elektoral yang merepresentasikan negara bagian, sehingga meskipun kompleks, hasil akhirnya tetap mencerminkan kehendak kolektif bangsa.
Di sisi lain, Inggris dan Jepang menawarkan stabilitas yang luar biasa dalam sistem parlementer. Perdana Menteri mereka dipilih berdasarkan mayoritas di parlemen, yang menciptakan keselarasan antara legislatif dan eksekutif.
Koalisi dan kompromi menjadi elemen penting yang menjaga keseimbangan, sementara kontrol ketat dari parlemen memastikan tidak ada konsentrasi kekuasaan yang berlebihan pada satu individu atau kelompok.
Stabilitas ini memungkinkan kedua negara menghadapi tantangan domestik maupun global dengan sistem politik yang solid.
Namun, bagaimana dengan Indonesia?
Ketidakpastian dalam Sistem Indonesia
Indonesia pernah menerapkan sistem politik berbasis partai di masa Orde Baru, di mana rakyat memilih partai yang kemudian menentukan siapa pemimpinnya.
Sistem ini membawa Indonesia ke dalam era otoritarianisme yang terkendali, tetapi dengan harga mahal: hilangnya kebebasan politik dan suara rakyat yang sesungguhnya.
Reformasi 1998 membuka jalan bagi pemilihan langsung, membawa harapan besar akan demokrasi sejati.
Namun, implementasinya sering kali tidak mencerminkan filosofi sistem presidensial murni maupun parlementer. Dalam praktiknya, sistem Indonesia berubah menjadi semacam hibrida tanpa arah yang jelas.
Partai politik tetap dominan, tetapi rakyat juga diberi hak memilih pemimpin secara langsung. Ironisnya, ini menciptakan situasi di mana individu-individu yang kurang memiliki kapasitas kepemimpinan bisa memenangkan kursi kekuasaan, berkat popularitas semata atau dukungan oligarki.
Jokowi dan Gibran: Potret Kegagalan Sistem
Lahirnya seorang Joko Widodo sebagai presiden merupakan salah satu bukti dari kekacauan ini. Jokowi, yang awalnya dianggap sebagai pemimpin rakyat sederhana, justru terperangkap dalam arus politik transaksional.
Alih-alih membawa perubahan fundamental, pemerintahannya sering kali diwarnai oleh politik pencitraan dan kontroversi nepotisme, terutama dengan munculnya anaknya, Gibran Rakabuming Raka, dalam panggung politik nasional.
Fenomena ini mencerminkan kegagalan besar sistem politik Indonesia. Tidak ada mekanisme kuat yang dapat menyaring kandidat berdasarkan integritas, kapasitas, dan visi yang jelas.
Rakyat dibiarkan memilih tanpa informasi yang memadai, sementara partai politik sibuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya.
kibatnya, kualitas kepemimpinan yang dihasilkan lebih sering menjadi refleksi dari oligarki politik, bukan kehendak rakyat.
Belajar dari Negara Lain
Indonesia harus belajar dari Amerika Serikat tentang pentingnya membangun institusi yang kuat. Sistem presidensial tidak akan berjalan efektif tanpa pemisahan kekuasaan yang tegas dan akuntabilitas yang jelas.
Di sisi lain, stabilitas politik Inggris dan Jepang juga memberikan pelajaran penting: parlemen yang sehat adalah kunci untuk menghindari kebuntuan politik dan mendorong pemerintahan yang efektif.
Menata Ulang Demokrasi Indonesia
Jika Indonesia ingin keluar dari jerat sistem politik yang amburadul ini, reformasi besar-besaran harus dilakukan.
Sistem pemilu perlu diperbaiki agar benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat. Partai politik harus direformasi untuk menjadi institusi yang transparan dan akuntabel, bukan sekadar alat oligarki.
Lebih dari itu, pendidikan politik bagi masyarakat harus ditingkatkan agar mereka memahami pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kualitas, bukan popularitas atau pencitraan.
Era Jokowi dan Gibran adalah puncak dari kegagalan sistem politik Indonesia, tetapi ini juga harus menjadi momen refleksi bagi seluruh bangsa.
Demokrasi yang sejati bukan sekadar tentang memilih, tetapi juga tentang memastikan bahwa yang dipilih mampu membawa bangsa ke arah yang lebih baik.
Tanpa perbaikan sistem, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran politik yang penuh ketidakpastian dan kekecewaan.
Sumber: FusilatNews