'Mengapa Sekalipun Sudah Lengser, Jokowi Masih Terkait Dengan Pemerintahan?'
Setiap transisi kekuasaan di dunia politik sering kali menyisakan jejak pengaruh dari pemimpin sebelumnya.
Namun, dalam kasus Joko Widodo (Jokowi), keterkaitan ini tampaknya lebih dari sekadar warisan biasa.
Dugaan bahwa Jokowi sengaja menempatkan personal loyal dalam pemerintahan Prabowo Subianto untuk melindungi dirinya semakin nyata.
Kesalahan dan kejahatan politik masa lalu yang sebelumnya tertutupi kini terlihat lebih jelas, membuka tabir kepentingan di balik transisi kekuasaan.
Strategi Melindungi Kekuasaan
Fenomena ini bukan hal baru dalam politik global. Pemimpin yang lengser kerap memastikan pengaruh mereka tetap ada melalui loyalis atau kebijakan yang mengikat pemerintahan berikutnya.
Tujuannya bisa untuk menjaga stabilitas, warisan, atau melindungi diri dari potensi tuntutan hukum.
Di Indonesia, dugaan bahwa Jokowi menempatkan figur-figur loyalis di kabinet Prabowo menunjukkan pola ini.
Nama-nama seperti Bahlil Lahadalia, yang dikenal dekat dengan Jokowi, dinilai bukan hanya sebagai representasi keberlanjutan kebijakan, tetapi juga sebagai tameng politik bagi mantan presiden.
Contoh Serupa di Dunia
Vladimir Putin (Rusia)
Setelah dua periode menjabat sebagai presiden, Vladimir Putin tidak sepenuhnya meninggalkan kekuasaan. Pada 2008, ia menjadi Perdana Menteri di bawah Presiden Dmitry Medvedev, yang dipandang sebagai sekutunya.
Putin tetap memegang kendali utama di Rusia meskipun secara resmi tidak menjadi presiden. Praktik ini memungkinkan Putin untuk kembali menjabat sebagai presiden pada 2012, memastikan pengaruhnya tetap dominan.
Xi Jinping (Tiongkok)
Meskipun Tiongkok memiliki sistem politik satu partai, Xi Jinping telah memanipulasi struktur kekuasaan untuk menghapus batasan masa jabatan.
Dengan cara ini, ia memastikan bahwa pengaruhnya tidak hanya berlangsung selama ia menjabat, tetapi juga jauh setelahnya melalui loyalis yang ditempatkan di posisi strategis.
Donald Trump (Amerika Serikat)
Setelah kekalahan dalam pemilu 2020, Trump tetap memiliki pengaruh besar terhadap Partai Republik. Banyak anggota partai terus mempromosikan kebijakan dan ideologi yang selaras dengan Trump. Bahkan, pemilihan calon legislatif atau pejabat lokal sering kali didasarkan pada loyalitas mereka terhadap Trump.
Hosni Mubarak (Mesir)
Sebelum digulingkan pada 2011, Hosni Mubarak mengisi banyak posisi strategis di pemerintahan dan militer dengan loyalisnya.
Setelah lengser, pengaruh ini masih dirasakan dalam proses transisi Mesir menuju pemerintahan baru, memperlambat reformasi yang diharapkan.
Nicolás Maduro (Venezuela)
Ketika Hugo Chávez meninggal pada 2013, ia memastikan Nicolás Maduro, seorang loyalisnya, menjadi penggantinya.
Maduro melanjutkan banyak kebijakan Chávez, tetapi juga menghadapi tuduhan memanfaatkan struktur kekuasaan lama untuk mempertahankan kepentingan kelompok tertentu.
Kesalahan dan Kejahatan yang Mulai Terbongkar
Dalam kasus Jokowi, isu-isu yang muncul di akhir masa pemerintahannya semakin sulit ditutupi, termasuk:
- Nepotisme: Penempatan keluarga dan kroni dalam posisi strategis.
- Utang Negara: Lonjakan utang yang mencapai titik kritis tanpa transparansi penggunaannya.
- Proyek Ambisius: Ibu Kota Negara (IKN) yang dinilai membebani anggaran dan kurang relevan dengan kebutuhan rakyat.
- Supremasi Hukum yang Lemah: Pembiaran terhadap pelanggaran hukum dan korupsi di level tinggi.
Mirip dengan contoh dari negara lain, dugaan keterlibatan Jokowi dalam pemerintahan baru menciptakan kesan bahwa ia ingin melindungi dirinya dari potensi tuntutan atas kebijakan dan keputusan kontroversial di masa lalu.
Dampak pada Demokrasi
Fenomena ini mencederai prinsip dasar demokrasi. Pemerintahan baru seharusnya bebas dari bayang-bayang kepentingan lama, mampu membuat keputusan yang independen demi kepentingan rakyat.
Keterlibatan mantan pemimpin, langsung maupun tidak, berisiko memanipulasi arah kebijakan sesuai kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Belajar dari Kasus Global
- Ketegasan Hukum: Seperti yang dilakukan Afrika Selatan dalam menangani Jacob Zuma, di mana investigasi terhadap dugaan korupsi terus berjalan meskipun ia lengser.
- Transparansi Pemerintahan Baru: Pemerintah baru harus tegas dalam membuka fakta-fakta yang selama ini tertutupi, seperti yang terjadi di Argentina setelah era Cristina Fernández de Kirchner.
Kesimpulan
Keterkaitan Jokowi dengan pemerintahan Prabowo mencerminkan pola umum dalam politik global, di mana pemimpin lama berusaha mempertahankan pengaruhnya demi kepentingan pribadi.
Publik perlu terus menuntut transparansi dan independensi dari pemerintahan baru untuk memutus siklus ini.
Dalam demokrasi yang sehat, transisi kekuasaan tidak hanya berarti pergantian pemimpin, tetapi juga pembebasan dari beban politik masa lalu.
Tanpa ini, demokrasi hanya akan menjadi ilusi yang terus diwarnai kepentingan tersembunyi.
Sumber: FusilatNews