CATATAN HUKUM POLITIK

Menganulir Keputusan MK Yang Melanggar Konstitusi: 'Kasus Gibran Anak Jokowi dan Inkonsistensi Hukum'

DEMOCRAZY.ID
Januari 04, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
HUKUM
POLITIK
Menganulir Keputusan MK Yang Melanggar Konstitusi: 'Kasus Gibran Anak Jokowi dan Inkonsistensi Hukum'


Menganulir Keputusan MK Yang Melanggar Konstitusi: 'Kasus Gibran Anak Jokowi dan Inkonsistensi Hukum'


Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran vital sebagai benteng terakhir penjaga konstitusi. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan tidak hanya menentukan arah sistem hukum, tetapi juga mencerminkan integritas demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia. 


Namun, belakangan ini, serangkaian putusan MK memicu pertanyaan mendasar tentang komitmen institusi ini terhadap prinsip-prinsip konstitusi yang luhur.


Penghapusan Presidential Threshold 20%

Salah satu keputusan monumental adalah penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20%, yang baru dikabulkan setelah hampir 40 kali uji materi (judicial review) diajukan ke MK. 


Salah satu pengungat adalah penulis sendiri dkk. Keputusan ini diapresiasi banyak pihak karena dinilai membuka peluang lebih luas bagi partisipasi politik. 


Sistem presidential threshold selama ini dianggap membatasi demokrasi dengan memberikan keistimewaan kepada partai-partai besar, sekaligus menutup peluang bagi calon-calon potensial yang didukung oleh partai kecil atau independen.


Meski demikian, penghapusan aturan ini juga menyoroti lemahnya responsivitas MK terhadap aspirasi masyarakat. 


Fakta bahwa diperlukan hampir empat puluh penggugat untuk menggugat aturan ini menunjukkan bahwa MK cenderung lamban dalam merespons permasalahan yang jelas-jelas memiliki implikasi besar terhadap kualitas demokrasi di Indonesia.


Keputusan Kontroversial Gibran Rakabuming Raka

Di sisi lain, keputusan MK yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden atau wakil presiden telah memicu perdebatan sengit. 


Banyak pihak menilai keputusan ini bertentangan dengan konstitusi, terutama terkait syarat usia minimal yang sebelumnya ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 


Keputusan ini juga diperburuk oleh fakta adanya pelanggaran etik oleh Ketua MK, sang Paman Gibran/adik ipar Jokowi,  yang semakin menurunkan kepercayaan publik terhadap independensi institusi tersebut.


Keputusan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai arah interpretasi konstitusi yang dilakukan MK. 


Apakah MK benar-benar menjadi pelindung konstitusi atau justru melayani kepentingan politik tertentu? 


Inkonsistensi ini menciptakan preseden buruk bagi masa depan demokrasi di Indonesia, di mana putusan hukum dapat diubah sesuai dengan kebutuhan kekuasaan.


Utang MK: Menganulir Keputusan Nomor 90/PUU-XXI/2023

Di tengah kontroversi ini, ada satu utang besar yang belum dilunasi MK kepada bangsa: menganulir Keputusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah persyaratan usia minimal bagi calon presiden dan wakil presiden. 


Keputusan ini dianggap mencederai semangat konstitusi dan semestinya menjadi agenda utama MK untuk dikoreksi. 


Sebelumnya, syarat usia minimal 40 tahun telah diterapkan dalam Undang-Undang Pemilu sebagai upaya menjamin kematangan dan pengalaman politik seorang pemimpin nasional.


Ketika MK memilih untuk menyesuaikan aturan usia demi meloloskan kandidat tertentu, institusi ini tidak hanya mengorbankan integritas konstitusi, tetapi juga menciptakan standar ganda dalam penegakan hukum. Sikap ini menjadi ironi tajam terhadap peran MK sebagai penjaga supremasi hukum.


Harapan untuk Masa Depan

Keputusan-keputusan yang diambil MK akhir-akhir ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk memperkuat akuntabilitas dan transparansi institusi ini. Reformasi internal, termasuk pengawasan yang lebih ketat terhadap pelanggaran etik, harus menjadi prioritas. 


Selain itu, MK perlu kembali menempatkan konstitusi sebagai pedoman utama, tanpa kompromi terhadap tekanan politik atau kepentingan pihak tertentu.


Sebagai penjaga konstitusi, MK memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keadilan dan demokrasi. Setiap keputusan yang diambil haruslah mencerminkan keadilan, bukan kepentingan. 


Bangsa ini menantikan momen di mana MK benar-benar menjadi simbol integritas hukum dan penjaga nilai-nilai demokrasi yang sejati.


Utang MK kepada bangsa ini belum lunas. Namun, harapan tetap ada bahwa MK akan bangkit dari keterpurukan, menegakkan kembali keadilan, dan membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap institusi ini.


Sumber: FusilatNews

Penulis blog