KPK: 'Super Body' Yang Takut kepada Jokowi, Keluarga, dan Kroni!
Oleh: Damai Hari Lubis
Mujahid 212
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sering disebut sebagai lembaga super body, nyatanya kini hanya menjadi bayang-bayang kekuasaan.
Keberanian lembaga ini seperti tereduksi menjadi sekadar hewan peliharaan, galak kepada orang-orang kecil atau lawan politik yang lewat di depan rumah tuannya, namun tunduk dan tak berdaya terhadap sang pemilik rumah, yakni Presiden Joko Widodo, keluarganya, dan kroni-kroninya.
Hal ini semakin terang benderang ketika kita melihat bagaimana KPK menangani kasus yang melibatkan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP.
Hasto dikenal sebagai salah satu tokoh yang tidak segan melakukan perlawanan terhadap upaya intimidasi hukum.
Langkah-langkah radikal yang diambil oleh Hasto untuk melawan tuduhan KPK membuktikan bahwa lembaga ini sebenarnya tidak memiliki taring yang cukup tajam.
Hasto, melalui tim hukumnya, bahkan menggugat status tersangka yang diberikan oleh KPK ke Pengadilan Negeri melalui mekanisme praperadilan.
KPK: Intimidasi Tanpa Bukti Kuat
KPK tampaknya lebih sering menggunakan pendekatan intimidasi dibandingkan membangun kasus dengan bukti yang kuat.
Penetapan status tersangka kepada Hasto terlihat sebagai langkah prematur. Dalam dunia hukum, sebuah keputusan hukum harus berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan tidak terbantahkan.
Namun, KPK justru menetapkan status tersangka sementara proses pengumpulan bukti dan pencarian saksi masih berlangsung.
Praktik seperti ini tidak hanya mencederai keadilan, tetapi juga menunjukkan lemahnya integritas KPK sebagai lembaga penegak hukum.
Keberanian Hasto untuk mengajukan praperadilan menjadi sebuah tamparan bagi KPK, sekaligus menyoroti pola kerja lembaga ini yang lebih sering mengandalkan sensasi daripada substansi hukum.
Peran Hakim dalam Praperadilan
Dalam konteks praperadilan yang diajukan oleh Hasto, hakim memiliki tanggung jawab besar untuk berdiri tegak di atas prinsip hukum dan keadilan.
Hakim tunggal yang memimpin sidang praperadilan semestinya tidak hanya melihat kasus ini dari aspek formal hukum, tetapi juga dari gejala-gejala politik yang berusaha menunggangi hukum demi kepentingan kekuasaan.
Hukum yang hidup di tengah masyarakat menuntut adanya kepastian dan keadilan. Dalam hal ini, hakim harus menggunakan kewenangannya untuk mengontrol pelaksanaan hukum oleh lembaga-lembaga seperti KPK.
Jika penetapan tersangka terhadap Hasto terbukti prematur dan tidak memenuhi syarat-syarat hukum yang berlaku, maka hakim semestinya menerima gugatan praperadilan tersebut.
Langkah ini tidak hanya memberikan keadilan kepada Hasto, tetapi juga mengembalikan marwah hukum sebagai panglima di negeri ini.
Menggugurkan Status Tersangka
Demi keadilan dan supremasi hukum, hakim praperadilan harus berani memutuskan bahwa penetapan status tersangka terhadap Hasto oleh KPK tidak sah.
Hakim perlu menyatakan bahwa keputusan KPK tersebut tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh sistem hukum, termasuk KUHAP dan Undang-Undang tentang KPK.
Oleh karena itu, status tersangka Hasto harus dicabut, dan KPK wajib segera melaksanakan putusan tersebut.
Langkah ini penting untuk menunjukkan bahwa hukum tidak boleh digunakan sebagai alat politik atau senjata intimidasi.
Hukum harus berdiri independen, tanpa intervensi kekuasaan, dan selalu berpihak pada kebenaran.
KPK: Sebuah Refleksi
Kasus ini seharusnya menjadi bahan refleksi mendalam bagi KPK. Sebagai lembaga yang dibentuk untuk memberantas korupsi, KPK harus mampu menunjukkan integritas dan profesionalisme yang tinggi.
Penegakan hukum yang setengah hati, penuh intimidasi, dan tunduk pada tekanan politik hanya akan menjauhkan KPK dari cita-cita awal pendiriannya.
Keberanian KPK tidak boleh hanya diarahkan kepada pihak-pihak yang lemah atau tidak memiliki dukungan politik kuat.
Jika KPK ingin kembali mendapatkan kepercayaan publik, maka lembaga ini harus berani menegakkan hukum secara adil, termasuk kepada orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan.
Akhirnya, perjuangan melawan korupsi tidak boleh kalah oleh kekuatan politik. Hukum harus tetap menjadi panglima, dan keadilan harus selalu menjadi tujuan utama.
Jika KPK gagal menunjukkan hal ini, maka layaklah kita mempertanyakan: Apakah KPK masih relevan sebagai lembaga pemberantas korupsi, ataukah kini hanya menjadi alat kekuasaan? ***