KPK Sejak Era Jokowi: 'Refleksi Suram Pemberantasan Korupsi'
Hasil polling yang dilakukan oleh akun X Ali Syarief menggambarkan pandangan publik yang mengkhawatirkan terhadap kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semejak diubah pada era Jokowi.
Polling tersebut menyoroti opini masyarakat mengenai alasan mengapa eksekutif dan legislatif hingga pemerintahan berganti enggan mengembalikan KPK ke format yang lebih kuat sebagaimana diatur dalam UU KPK pertama. Dengan hasil sebagai berikut:
- Takut Menjerat Dirinya: 45.9%
- Peluang untuk Korupsi: 3.1%
- Tidak Serius Ingin Bersih: 8.2%
- Jahat Semua: 42.9%
Hasil ini tidak hanya menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap komitmen elite pemerintah dalam memberantas korupsi, tetapi juga menggarisbawahi persepsi bahwa perubahan UU KPK di era Jokowi telah melemahkan institusi yang dulunya menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi.
Takut Menjerat Dirinya: Bayangan Ketakutan di Balik Kekuasaan
Mayoritas responden percaya bahwa eksekutif dan legislatif takut mengembalikan UU KPK yang lama karena khawatir akan menjadi sasaran pemberantasan korupsi.
Ketakutan ini bisa dimengerti jika melihat banyaknya kasus korupsi yang justru melibatkan elite pemerintahan.
Ketika KPK di masa lalu berhasil menjerat pejabat tinggi tanpa pandang bulu, banyak yang merasa bahwa kinerja ini mulai menurun setelah revisi UU KPK pada tahun 2019.
Revisi tersebut menciptakan Dewan Pengawas yang membatasi independensi KPK, sekaligus memperlambat proses penyidikan melalui mekanisme birokrasi baru.
Akibatnya, elite politik mungkin merasa lebih “aman” dari jeratan hukum, yang memunculkan sinyal bahwa korupsi menjadi semakin sulit diberantas.
Peluang untuk Korupsi dan Tidak Serius Ingin Bersih
Meskipun persentase yang memilih “Peluang untuk Korupsi” (3.1%) dan “Tidak Serius Ingin Bersih” (8.2%) relatif kecil, keduanya tetap relevan dalam memotret kondisi saat ini.
Fakta bahwa sebagian kecil responden menganggap peluang untuk korupsi sebagai alasan, menunjukkan bahwa elite mungkin telah menciptakan lingkungan yang memungkinkan praktik-praktik kotor ini terjadi dengan lebih leluasa.
Sementara itu, pilihan “Tidak Serius Ingin Bersih” mencerminkan frustrasi masyarakat terhadap janji-janji politik yang tidak ditepati.
Di masa kampanye, pemberantasan korupsi sering menjadi jargon utama. Namun, dalam praktiknya, upaya ini tampak sebatas formalitas yang tidak diiringi dengan niat tulus.
Jahat Semua: Ketidakpercayaan yang Membesar
Pilihan “Jahat Semua” dengan angka 42.9% adalah refleksi dari meningkatnya sinisme masyarakat terhadap elite politik secara keseluruhan.
Angka ini menandakan bahwa masyarakat merasa tidak ada pihak yang benar-benar berkomitmen untuk memperbaiki KPK dan memberantas korupsi.
Istilah ini mencerminkan rasa frustrasi yang mendalam terhadap sistem politik yang dianggap lebih banyak melindungi kepentingan elite dibandingkan rakyat.
Mengembalikan KPK yang Kuat: Mimpi atau Kenyataan?
Melihat hasil polling ini, jelas ada desakan dari publik untuk mengembalikan KPK ke masa kejayaannya. Namun, langkah ini memerlukan keberanian politik yang luar biasa.
Sayangnya, situasi saat ini menunjukkan bahwa elite lebih mementingkan keamanan pribadi dan kelompoknya daripada komitmen terhadap reformasi antikorupsi.
KPK di era Jokowi sering dianggap sebagai bayangan dari institusi yang dulu pernah ditakuti koruptor.
Upaya untuk melemahkan lembaga ini melalui revisi UU KPK, serta minimnya dukungan terhadap langkah-langkah pemberantasan korupsi, semakin menjauhkan cita-cita Indonesia bersih dari korupsi.
Penutup
Hasil polling ini menjadi cerminan suram tentang kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia. Ketika ketakutan dan kepentingan pribadi mendominasi pengambilan keputusan, maka sulit berharap perubahan signifikan akan terjadi.
Untuk mengembalikan kejayaan KPK, diperlukan tekanan kuat dari masyarakat sipil serta keberanian politik yang mendobrak status quo.
Jika tidak, Indonesia hanya akan semakin tenggelam dalam lingkaran korupsi yang terus menghancurkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Sumber: FusilatNews