'KPK Mesti Berguru Virtual Kepada OCCRP di Belanda, Bukan ke Solo!'
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum & Politik, Mujahid 212
Untuk mengungkap dan mendapatkan alat bukti terkait dugaan korupsi Jokowi beserta polanya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya mempertimbangkan “berguru” secara virtual melalui Zoom atau webinar kepada Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
Dengan dukungan penerjemah, metode ini tidak hanya hemat biaya, tetapi juga dapat memastikan transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan prinsip hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Publik pun dapat menyaksikan proses tersebut secara langsung.
Jika audiensi langsung dianggap lebih efektif, maka KPK semestinya pergi ke Belanda, bukan ke Solo.
Perjalanan ini perlu didampingi oleh tokoh publik yang kredibel dan independen, bukan sosok yang diketahui memiliki kedekatan politik dengan Surakarta.
Dua opsi ini jauh lebih bermanfaat bagi bangsa, mengingat besarnya anggaran publik yang dialokasikan untuk mendukung kinerja KPK.
Terlebih, meski Jokowi adalah mantan presiden, kehormatan dan martabatnya harus tetap dijaga—jika memang benar ia memiliki integritas.
Namun, jika sebaliknya, maka hukum Indonesia yang menjunjung asas kesetaraan harus ditegakkan.
Seriusnya, KPK perlu menjalin komunikasi dengan OCCRP, bahkan mengundang mereka ke gedung KPK atau ke Senayan, Jakarta Pusat.
Hal ini lebih mendesak dibandingkan menangani perkara seperti hubungan hukum antara Hasto Kristiyanto dan Harun Masiku, yang hanya mengungkapkan moral buruk individu di KPU—sesuatu yang publik sudah banyak mengetahuinya.
Fokus KPK semestinya diarahkan pada pemberantasan korupsi berskala global yang merusak nama baik Indonesia.
Temuan OCCRP, seperti laporan bahwa Presiden Jokowi (saat menjabat) menjadi salah satu dari lima pemimpin dunia yang diduga melakukan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) secara sistematis, terstruktur, dan masif (STM), merupakan sinyal bahwa keadilan perlu ditegakkan.
Korupsi semacam ini mencederai hak rakyat untuk hidup sejahtera dan mendapatkan keadilan.
Moralitas Jokowi yang disebut rendah dan tidak jujur menunjukkan kegagalan kepemimpinan yang abnormal.
Investigasi OCCRP sangat dibutuhkan untuk menyingkap akar korupsi ini, yang berpotensi melibatkan banyak tokoh politik dan pengusaha besar.
Ironisnya, dugaan bahwa Jokowi masih menjadi aktor sentral pengendali berbagai lembaga hukum menunjukkan bahwa dampak kepemimpinannya tidak hanya bertahan, tetapi semakin kuat. Oknum di KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri diduga tetap melayani kepentingannya.
Jika hal ini terus berlanjut, maka Presiden Prabowo pun akan sulit merealisasikan program-program unggulannya.
Bangsa ini membutuhkan persatuan dan sinergi untuk melawan dampak buruk dari gaya kepemimpinan Jokowi.
Mari kita bersama mendukung perubahan yang membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, dengan menunggu momen penting pada 27 Januari 2025, seperti yang disampaikan oleh seorang tokoh kepada penulis. ***