CATATAN HUKUM POLITIK

Interpretasi 'Hukuman Mati' Jokowi Sebagai Proyek Percontohan Hukum Nasional

DEMOCRAZY.ID
Januari 13, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
HUKUM
POLITIK
Interpretasi 'Hukuman Mati' Jokowi Sebagai Proyek Percontohan Hukum Nasional


Interpretasi 'Hukuman Mati' Jokowi Sebagai Proyek Percontohan Hukum Nasional


Oleh: Damai Hari Lubis

Pengamat Kebijakan Hukum dan Politik


Pengantar


Perilaku dan dugaan kejahatan Jokowi dalam perspektif asas hukum mala in se—yang merujuk pada tindakan yang bertentangan dengan moral, norma, dan adab universal—merupakan wacana penting dalam konteks penegakan hukum nasional. 


Mala in se adalah kategori kejahatan yang sifatnya intrinsik, dianggap jahat dan melanggar norma dalam waktu dan ruang mana pun. 


Terlebih lagi, pelaku yang dimaksud adalah mantan Presiden RI, yang seharusnya menjadi role model penegakan hukum dan keadilan.


Dalam kerangka hukum, penyelesaian terhadap kejahatan mala in se harus memenuhi tiga nilai fundamental: kepastian hukum (rechtmatigheid/legalitas), daya guna (doelmatigheid/utilitas), dan keadilan (gerechtigheid/justice). 


Oleh karena itu, pengadilan harus mengutamakan pendekatan objektif (due process of law) untuk menjamin hasil hukum yang transparan dan berkeadilan.


 Dugaan Kejahatan Jokowi dan Konsekuensi Hukum


Tindakan Jokowi, berdasarkan tuduhan publik yang tersebar di berbagai media sosial dan gugatan hukum, mencakup dugaan penggunaan ijazah palsu untuk mencalonkan diri dalam berbagai kontestasi politik, termasuk Pilkada Surakarta, Pilgub DKI Jakarta, hingga Pilpres. 


Setelah menjabat, Jokowi juga diduga terlibat dalam berbagai bentuk kolusi, nepotisme, dan obstruksi sistem hukum.


Keberadaan dugaan pelanggaran ini menjadikannya contoh nyata dari concursus realis, yaitu pelanggaran beragam yang terjadi dalam konteks waktu dan situasi berbeda (vide Pasal 65 KUHP). 


Dengan demikian, metode penegakan hukum yang efektif memerlukan pemisahan tuntutan (split cases) untuk setiap kasus yang berbeda.


Hukuman Mati: Sebuah Wacana


Dalam diskusi publik, muncul gagasan bahwa Jokowi layak dijatuhi hukuman mati melalui eksekusi tertentu, seperti gantung. 


Namun, secara legal, Indonesia telah mengatur eksekusi mati melalui penembakan oleh regu tembak, sebagaimana diatur dalam UU No. 2/PNPS/1964. Aturan ini menetapkan bahwa:


  • Eksekusi dilakukan dengan penembakan di lokasi yurisdiksi pengadilan tingkat pertama.
  • Eksekusi disaksikan oleh perwira polisi, jaksa, dan pihak terkait.
  • Penembakan diarahkan ke jantung terpidana mati.


Jokowi dan Super Ordinary Crime


Dugaan kejahatan Jokowi bukan hanya mencakup aspek hukum konvensional tetapi juga berdimensi luar biasa (super ordinary crime). 


Kebijakan dan tindakannya, seperti perubahan konstitusi untuk kepentingan pribadi, penguatan oligarki, dan intervensi terhadap lembaga-lembaga negara, telah menciptakan kerusakan besar pada sistem politik, ekonomi, dan hukum negara.


Sebagai contoh, anak Jokowi yang belum memenuhi syarat usia dicalonkan sebagai Wakil Presiden, sebuah keputusan yang dianggap melanggar norma konstitusi. 


Selain itu, laporan gratifikasi dan korupsi dengan bukti-bukti nyata sering kali tidak diikuti dengan penegakan hukum yang tegas.


Penutup


Mengadili Jokowi atas dugaan kejahatan mala in se adalah langkah penting untuk memastikan efek jera terhadap pemimpin nasional di masa depan. 


Proses ini harus mencerminkan keadilan substantif, menjunjung tinggi asas-asas hukum progresif, dan mencegah terulangnya pelanggaran yang serupa.


Presiden saat ini, Prabowo Subianto, memiliki kewenangan untuk memulai langkah penegakan hukum secara menyeluruh. 


Dengan persetujuan legislatif, tindakan hukum terhadap Jokowi dapat menjadi preseden berharga dalam menciptakan sistem hukum yang benar-benar adil, berfungsi, dan berpihak pada rakyat.


Hukuman mati, bila diputuskan melalui proses hukum yang sah, bukan hanya menjadi pelajaran penting tetapi juga simbol bahwa hukum adalah panglima tertinggi yang tidak memihak, bahkan terhadap mantan kepala negara. ***

Penulis blog