DEMOCRAZY.ID - Nama mantan Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), masuk dalam daftar nominasi tokoh terkorup dunia tahun 2024 yang dirilis oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
Meskipun predikat "Tokoh Terkorup" jatuh kepada Bashar al-Assad, Presiden Suriah, kehadiran nama Jokowi dalam daftar ini menimbulkan kontroversi besar, baik di dalam negeri maupun di kancah internasional.
Dalam laporannya, OCCRP menegaskan bahwa istilah "korupsi" tidak terbatas pada penyalahgunaan keuangan negara, tetapi juga meliputi pelemahan institusi, nepotisme, dan manipulasi kebijakan.
Kontroversi ini semakin memanas ketika sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat menyerukan agar Jokowi diadili.
Mereka menuding mantan presiden tersebut telah melakukan tindak pidana korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran konstitusi.
Jokowi dianggap melemahkan KPK, memberlakukan UU kontroversial seperti Omnibus Law, dan membuka jalan bagi keluarganya untuk meraih kekuasaan.
Salah satu kritik terbesar adalah terkait pencalonan putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto.
Langkah ini disebut-sebut melanggar konstitusi dan mencederai demokrasi, memicu perdebatan luas di kalangan masyarakat Indonesia.
Pendukung Jokowi, yang kerap disebut "ternak Mulyono" oleh lawan politiknya, segera membela mantan presiden tersebut.
Mereka menuding OCCRP sebagai lembaga tak kredibel dan meminta bukti konkret atas tuduhan yang dilayangkan.
Di sisi lain, para pengkritik menganggap laporan OCCRP sebagai cerminan dari realitas politik Indonesia di era Jokowi, terutama soal nepotisme dan lemahnya pemberantasan korupsi.
Masuknya nama Jokowi dalam daftar ini harus menjadi refleksi bagi bangsa kita.
Apakah kita telah mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi demi mengejar pembangunan infrastruktur?
Media internasional seperti The Australian dan Channel News Asia turut mengupas kontroversi ini.
The Australian menempatkan Jokowi di urutan ketiga dalam daftar pemimpin yang paling melemahkan institusi negara setelah Bashar al-Assad dan seorang pemimpin Afrika.
Mereka juga mengkritik minimnya transparansi dalam pengambilan keputusan di era Jokowi.
Selama dua periode kepemimpinannya, Jokowi dikenal dengan citra pemimpin sederhana dan pro-rakyat.
Namun, laporan OCCRP ini bisa mengikis warisan politiknya, terutama di mata komunitas internasional.
Popularitasnya di dalam negeri mungkin tetap tinggi, tetapi kritikan terkait nepotisme dan kontroversi kebijakan seperti Omnibus Law dan revisi UU KPK menjadi bayang-bayang gelap.
Kasus ini menjadi ujian besar bagi warisan politik Jokowi.
Apakah ia akan dikenang sebagai pemimpin yang membangun infrastruktur besar-besaran atau sebagai figur yang memprioritaskan kepentingan keluarga dan melemahkan demokrasi?
Sumber: PorosJakarta