POLITIK

Apakah Peristiwa '27 Juli 1996' Bisa Terulang? Pelajaran dari Sejarah PDIP dan Dinamika Politik Saat Ini

DEMOCRAZY.ID
Januari 02, 2025
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Apakah Peristiwa '27 Juli 1996' Bisa Terulang? Pelajaran dari Sejarah PDIP dan Dinamika Politik Saat Ini



DEMOCRAZY.ID - Peristiwa 27 Juli 1996, atau yang dikenal sebagai "Sabtu Kelabu," menjadi salah satu bab kelam dalam sejarah politik Indonesia.


Peristiwa ini melibatkan konflik internal di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang pada masa itu terpecah menjadi dua kubu: pendukung Megawati Soekarnoputri dan pendukung Suryadi.


Perebutan kantor pusat PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta, memuncak pada penyerangan yang didukung aparat keamanan, mengakibatkan lima orang tewas, lebih dari 140 orang luka-luka, dan 23 orang hilang.


Peristiwa ini telah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM, tetapi penyelesaiannya hingga kini masih belum tuntas.


PDI dibentuk pada 11 Januari 1973, hasil penggabungan lima partai politik oleh pemerintah Orde Baru: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Murba, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik.


Sejak berdirinya, PDI menjadi partai dengan perolehan suara terendah dalam Pemilu Orde Baru, tidak pernah melebihi 10 persen suara.


Masuknya Megawati Soekarnoputri ke PDI pada 1987 menjadi titik balik bagi partai tersebut.


Kampanye politik PDI yang membawa nama besar Bung Karno berhasil mendongkrak popularitas partai, terutama pada Pemilu 1987 dan Pemilu 1992.


Namun, keberhasilan ini justru menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintahan Soeharto.


Pemerintah Orde Baru kemudian berupaya menggembosi PDI dengan mendukung kelompok internal yang menentang Megawati.


Pada Kongres PDI 1993 di Surabaya, Megawati terpilih sebagai Ketua Umum.


Namun, pemerintah mendukung kongres tandingan di Medan pada 1996, yang mengukuhkan Suryadi sebagai Ketua Umum.


Perpecahan ini memicu konflik tajam di antara kedua kubu, yang berujung pada peristiwa penyerangan kantor PDI di Jalan Diponegoro.


Konflik internal PDI memperlihatkan bagaimana intervensi negara dapat memperburuk situasi.


Perpecahan antara kubu Megawati dan Suryadi menciptakan celah bagi pemerintah untuk memperlemah PDI.


Meski akhirnya Megawati dan pendukungnya berhasil mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang lebih solid, luka sejarah ini tetap menjadi pengingat akan pentingnya persatuan.


Komnas HAM menetapkan peristiwa 27 Juli 1996 sebagai pelanggaran HAM berat.


Pelanggaran ini mencakup kebebasan berkumpul, berorganisasi, berpendapat, dan hak hidup.


Namun, hingga kini, penyelesaian hukum terhadap pelaku pelanggaran tersebut belum mencapai titik terang. Pasca Pemilu 2024, PDIP kembali menghadapi tantangan internal.


Pemecatan Mantan Presiden Joko Widodo dari keanggotaan PDIP pada Desember 2024 memicu kontroversi.


Kampanye hitam yang menyebut PDIP sebagai partai ilegal mulai bermunculan, bahkan hingga spanduk di ruang publik.


Selain itu, muncul isu pergantian Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, yang memicu spekulasi tentang potensi konflik faksi di tubuh partai.


Ketegangan internal ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat membuka peluang intervensi pihak luar yang berpotensi melemahkan partai.


Perpecahan internal juga dapat memicu konflik yang berdampak buruk, mirip dengan apa yang terjadi pada 1996.


Sejarah 27 Juli 1996 memberikan pelajaran penting: persatuan adalah kunci kekuatan partai.


Jika PDIP ingin terus bertahan sebagai partai besar, para pemimpin dan kadernya harus memprioritaskan perjuangan ideologis daripada kepentingan faksi.


Memegang teguh prinsip "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh" menjadi hal yang sangat relevan di tengah tantangan politik saat ini.


Di sisi lain, pemerintah dan masyarakat juga harus memastikan bahwa demokrasi tetap terjaga.


Intervensi terhadap partai politik, seperti yang terjadi di masa lalu, tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan hanya akan merugikan stabilitas politik nasional.


Meskipun situasi politik saat ini berbeda dengan era Orde Baru, ancaman konflik internal dan intervensi eksternal tetap ada.


PDIP memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga persatuan dan memastikan bahwa perpecahan seperti pada 1996 tidak terulang kembali.


Dengan belajar dari sejarah, partai ini dapat mengelola dinamika internalnya dengan bijaksana dan mempertahankan perannya sebagai kekuatan politik utama di Indonesia.


Sumber: PorosJakarta

Penulis blog