'Yang Numpuk Hutang Besar Jokowi, Prabowo Yang Kelimpungan dan Terancam Lengser'
Oleh: Heru Subagia
Pemerhati Ekonomi Dan Politik
Pelemahan ekonomi nasional semakin nyata dan sudah terjadi di Indonesia saat ini. Dilansir dari laporan data Badan Pusat Statistik ( BPS) menyatakan saat ini sedang terjadi penyusutan besar-besaran postur kelas ekonomi masyarakat. Kelompok menengah menjadi korban bersama terpuruknya ekonomi nasional.
Kelompok penyumbang terbesar konsumsi rumah tangga ( 82 persen) ini ternyata semakin sedikit jumlahnya. Hal ini terkuak dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024 . BPS dalam konferensi persnya secara khusus melaporkan jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk pada 2019.
Situasi semakin genting ketika ditemukan penyusutan kelompok menengah secara ekstrim. Di tahun 2024 hanya tersisa menjadi 47,85 juta orang atau setara 17,13%. Akhirnya dapat ditarik kesimpulan sebanyak 9,48 juta orang telah bergeser posisinya dari status kelas menengah. Keterpurukan kelas menengah ini memuncak manakala PPN 12 persen betul-betul diberlakukan per 1 Januari 2025. Disebutkan tahun 2025 Salah kiamat besar bagi kelompok penyumbang konsumsi ini.
Respon Pasar Negatif
Wajar saja jika masyarakat secara serentak mengeluhkan kondisi ekonomi cepat ini. Bisa dikatakan saat ini semua menjerit tampa terkecuali . Tidak dipungkiri Indonesia sedang bermasalah dengan Daya Beli warga RI yang sedang ambruk.
Situasi riil di lapangan sangat memprihatinkan. Suasana sepi pusat perbelanjaan Roxy Square di Jakarta sudah menjadi pemandangan Sehari-hari. Roxy Square yang terkenal dengan pusat penjualan barang elektronik khusus handphone dan aksesosris kini nampak sepi pengunjung. Lapak pasar tradisional di daerah-daerah juga mengalami hal yang sama, apa yang mereka perdagangan dari pagi hingga sore sepi kunjungan pembeli.
Dukungan data sepinya konsumsi masyarakat terindikasi dari sisi level konsumsi rumah tangga. Dikutip dari berbagai sumber, periode selama tiga kuartal tahun ini terus tumbuh di bawah 5%. Per kuartal III-2024 saja, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,91% (yoy) yang berakibat laju pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024 hanya 4,95%.
Likuiditas Minim
Isu likuiditas yang menghantui industri perbankan sepanjang tahun ini, diperkirakan masih bakal berlanjut tahun depan. Saat ini, bank-bank tidak hanya bersaing dengan satu sama lain dalam memperebutkan dana masyarakat, tapi juga dengan pemerintah.
Menurut Chief Economist BSI Banjaran Surya Indrastomo mengatakan tahun depan , 2025 adalah jatuh tempo pembayaran surat utang negara sekitar Rp700 triliun per tahun dalam tiga tahun ke depan. Ditambah dengan pengeluaran rata-rata tahunan utang yang ditarik pemerintah sekitar Rp600 triliun, lantas pemerintah membutuhkan kebutuhan likuiditas sekitar Rp1.300 triliun per tahun.
“Dan ini yang membuat sebetulnya, kalau ini jatuh tempo, berarti harus di-replace. Kecuali memang rencananya ada pola-pola lain yang tidak perlu mengambil kepada dana yang beredar,” jelas Banjaran di Sharia Economic Outlook di Kantor Pusat BSI, Senin (23/12/2024).
Injak Rem Ekspansi Kredit
Menurut analisa ekonom senior, Ryan Kiryanto mengatakan bahwa secara umum, perbankan sedang memiliki “isu besar” terkait likuiditas. Hal ini terlihat dari posisi rasio pinjaman terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR) perbankan yang mencapai 87,50% per Oktober 2024, menunjukkan bahwa likuiditas perbankan RI sudah ketat.
“Nah, itu jelas menunjukkan bahwa space atau ruang bank kita untuk lebih agresif ekspansi [kredit] semakin terbatas. Apalagi bank-bank yang memang memiliki stance yang konservatif. Konservatif itu adalah bankir-bankir yang nggak mau ngebut, nggak mau ngegas, nggak mau agresif. Dengan LDR di bank itu 80% ke atas, mereka pasti lebih prudent, lebih hati-hati artinya tidak terlalu bernafsu ya untuk ekspansi,” jelas Ryan saat ditemui di Jakarta Selatan, Jumat (20/12/2024).
Ambil contoh PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang dianggap “over-liquid”. Jika merujuk pada laporan keuangan BCA per kuartal III-2024, posisi LDR berada di 75,1% berada di bawah batas bawah Giro Wajib Minimum (GWM) LDR yang ditetapkan Bank Indonesia (BI), yakni 78%-92%.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Darmawan Junaidi juga menyoroti kondisi likuiditas tercatat tetap ketat di tengah penurunan suku bunga untuk mendorong biaya dana tetap tinggi. Alasannya, adanya Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang terus menawarkan yield tinggi.
Alhasil, pasar kini memiliki pilihan bukan hanya menempatkan dana di produk perbankan yang konvensional, tapi lebih kepada yield yang dijanjikan lebih tinggi.
“Sehingga, saat ini tren penurunan suku bunga tidak langsung diikuti oleh reaksi pasar karena masyarakat sudah melihat ada channel yang ekspektasi yield lebih tinggi, suku bunga tren turun tapi secara agregat biaya dana semua bank meningkat,” ujarnya.
Tarif Import Donald Trump
Masa depan perbankan di mata para eksekutif bank papan atas plat merah/ BUMN yang menilai dan meyakini jika tantangan likuiditas masih akan membayangi dan menjadi momok industri perbankan. Dikutip dari berbagai media, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Royke T mengungkapkan bahwa salah satu penyebab likuiditas ketat datang dari sisi eksternal. Di mana, kemenangan Donald Trump menjadi Presiden AS bisa jadi menghambat penurunan suku bunga AS.
Menurutnya, kemenangan Trump di AS akan dibayangi kebijakan tarif impor dan penurunan pajak. Alhasil, itu akan mendorong inflasi naik dan menyulitkan The Fed akan menurunkan suku bunga.
Diberikan jika Presiden terpilih, berencana untuk menerapkan tarif tambahan sebesar 10 persen pada barang impor dari China dan 25 persen pada seluruh produk dari Meksiko dan Kanada.
Tindakan Donald Trump ini akan mempengaruhi hubungan AS dengan negara-negara mitra dagang terbesarnya, terutama di Asia, yang berpotensi menimbulkan efek berantai pada perekonomian mereka.
Defisit dan Hutang Menumpuk
Secara umum, dari uraian ekonomi makro dan ditambahkan dengan fakta para pelaku usaha bahwa dapat disimpulkan ekonomis Indonesia tahun 2025 begitu suram. Pelaku pasar sangat pesimis, perbendaharaan iklim positif yang mendukung keberlanjutan Kabinet Merah Putih menunjuk alarm kiamat.
Pada saat bersamaan, Prabowo harus mengeksekusi janji dan program kampanyenya. Postur APBN dinilai pincang dan memberatkan roda pemerintahan. Ironisnya sekali, APBN 2025 dirancang dengan defisit Rp 616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB.
Sri Mulyani mengatakan, defisit APBN 2025 itu senilai Rp 616,2 triliun, disebabkan target pendapatan negara Rp 3.005,1 triliun, sedangkan belanja negara dirancang senilai Rp 3.621,3 triliun. Eksposur APBN tersebut menunjukkan bahwa Prabowo harus menutup defisit anggaran dan juga harus berpikir keras dari mana sumber anggaran bisa dieksplorasi.
Di samping Prabowo harus memikul defisit anggaran, Mantan Danjen Kopassus ini harus berpikir ekstra untuk membayar hutang negara.
Sebelumnya diketahui, utang jatuh tempo pemerintah pada tahun 2025 nanti mencapai angka Rp 800,33 triliun.
Jumlah hutang di atas didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) jatuh tempo senilai Rp 705,5 triliun dan pinjaman jatuh tempo sebesar Rp 94,83 triliun.
Warisan Hutang Jokowi
Kompleksitas finansial yang dihadapi Prabowo adalah perbuatan dari rejim sebelumnya. Besaran Defisit anggaran dan Hutang Negara ini menjadi kenyataan pahit dan juga tantangan yang harus dihadapi oleh Prabowo. Defisit ini merupakan dampak langsung dari kebijakan fiskal agresif yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya.
Defisit yang melimpah ini merupakan bonus akumulasi dari utang yang diambil pada masa Presiden Jokowi yang ugal-ugalan. Dengan alibinya untuk membiayai berbagai proyek yang diklaim mempunyai strategis bagi keberlanjutan NKRI.
Secara teoretis, proyek yang dibiayai dari hutang tersebut akan mencapai keberhasilan mendongkrak pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Hanya saja beban pembiayaan utangnya kini harus ditanggung oleh pemerintahan baru yakni Kabinet Merah Putih di bawah komando Prabowo-Gibran.
Legitimasi Tergerus
Saat ini ekosistem Pemerintah Prabowo-Gibran dibangun oleh Koalisi Pelangi yang banyak melibatkan partai dan kelompok kepentingan. Rejim sebelumnya masuk dan menjelma dalam postur politik anggaran dan juga konfigurasi kekuasaannya. Prabowo-Gibran membangun Kabinet Gendut untuk mengakomodasi kepentingan kelompok pendukungnya.
Ada dugaan jika prabowo tidak bisa memenuhi APBN, menutup defisit dan juga membayar hutang akan terjadi berbagai skenario delegitimasi kekuasaan yang konon berlangsungnya kudeta politik. Ini yang mencari anekdot atau dagelan politik terkini, di saat Prabowo oleng dan sedang sekarat, bersamaan pula terjadi kejadian aksi persiapan kudeta kekuasaan.
Siapa yang sebenarnya lawan politik Prabowo? Pertama adalah Partai Koalisi yang tergabung di Kabinet Merah Putih. Kedua, Koalisi perorangan atau partai perorangan dengan partai pendukung Prabowo. Dan ketiga, pihak rival politik dalam kontestasi Pilpres dan Pileg 2024 kemarin.
Dengan demikian, penulis membagi dalam 3 kelompok kepentingan. Setidaknya terdapat 3 aktor-aktor politik yang akan mengancam, menggilas dan merobohkan kekuasaan Prabowo.
Di saat terjadi pelemahan ekonomi, disitulah perang politik akan berkecamuk. Prediksi penulis, konspirasi politik akan berhasil menumbangkan kekuatan dan kekuasaan Prabowo. Lantas siapa yang diuntungkan dalam konflik politik ini? ***