CATATAN POLITIK

Ubah Sistem Pilkada: Prabowo Ingin Rakyat Buntung, Wakil Rakyat Untung!

DEMOCRAZY.ID
Desember 14, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Ubah Sistem Pilkada: Prabowo Ingin Rakyat Buntung, Wakil Rakyat Untung!


Ubah Sistem Pilkada: Prabowo Ingin Rakyat Buntung, Wakil Rakyat Untung!


Oleh: Karyudi Sutajah Putra

Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)


Desakan agar pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan secara tak langsung, oleh wakil rakyat seperti sebelum 2004, kembali mengemuka. Kali ini datang dari pucuk tertinggi kekuasaan, Presiden Prabowo Subianto.


Saat berpidato pada puncak peringatan ulang tahun ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12/2024) malam, dengan dalih sistem pilkada langsung terlalu mahal, Prabowo melempar wacana kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota kembali dipilih oleh DPRD.


Ia lalu merujuk contoh Malaysia, Singapura dan India di mana pilkada dilakukan oleh DPRD sehingga lebih efisien dan tak menelan banyak biaya.


Bekas Komandan Jenderal Kopassus itu menyebut sistem pilkada tak langsung akan menekan anggaran yang harus dikeluarkan negara dalam menggelar pilkada. 


Anggaran untuk pilkada, katanya, bisa digunakan untuk hal lain yang lebih penting bagi masyarakat.


Dengan demikian, Prabowo sama saja dengan menghendaki agar rakyat buntung, tapi wakil rakyat untung.


Diakui, ongkos politik pilkada di Indonesia memang tinggi (mahal) atau “high cost politics”. 


Sebab selain ada biaya politik atau “political cost”, juga ada politik uang atau “money politics” yang sudah menjadi semacam kelaziman bahkan keniscayaan dalam setiap kontestasi elektoral di Indonesia.


Biaya politik misalnya untuk pendaftaran, kampanye, iklan, pasang alat peraga kampanye dan membayar saksi.


Adapun politik uang misalnya untuk mendapatkan dukungan partai politik dan melakukan “serangan fajar” (membeli suara rakyat). Anggaran politik uang ini “unlimited” alias tak terbatas. Beda daerah, beda pula nominalnya.


Nah, jika pilkada dilakukan oleh DPRD, maka politik uang yang semula masuk ke kantong rakyat berpindah tempat masuk ke kantong wakil rakyat baik di DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota.


Cermati saja proses pemilihan pejabat publik oleh DPR RI yang kerap diliputi isu suap. Bahkan sebagian bukan sekadar isu. 


Dalam pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia, misalnya, terjadi kasus suap. Alhasil, rakyat buntung, wakil rakyat untung.


Mengapa libido kekuasaan untuk mengubah sistem pilkada ini dari waktu ke waktu terus menggelegak?


Pokok persoalannya adalah konstitusi. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan, Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.


Di sana tak ada ketegasan calon kepala daerah harus dipilih langsung oleh rakyat, atau tak langsung oleh wakil rakyat. 


Pemilihan langsung oleh rakyat ya demokratis, pemilihan tak langsung oleh wakil rakyat ya demokratis. Sama-sama demokratis.


Apa yang diwacanakan Prabowo ini mengingatkan kita pada tahun 2014 ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan sistem pilkada tak langsung yang sudah disahkan oleh DPR.


SBY, Kamis (2/10/2014), menerbitkan dua perppu terkait pilkada. Pertama, Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, di mana perppu tersebut sekaligus mencabut UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD, yang baru disahkan DPR.


Kedua, dan ini sebagai konsekuensi penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2014, serta untuk memberikan kepastian hukum, SBY menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.


Inti perppu kedua tersebut adalah menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.


Penerbitan kedua perppu tersebut untuk mengakomodasi tuntutan rakyat agar pemerintah tetap mempertahankan sistem pilkada langsung.


Pertanyaannya, kalau memang kepala daerah dipilih oleh DPRD, mengapa tidak sekalian saja Presiden dipilih oleh MPR seperti sebelum 2004?


Kalau alasannya anggaran negara banyak keluar untuk membiayai pilkada, bukankah anggaran negara juga banyak keluar untuk membiayai pilpres langsung?


Yang memicu “high cost politics” dalam pilkada langsung adalah “money politics”. “Money politics” itu ekses. 


Mestinya yang harus dilakukan adalah meminimalisasi bahkan memberantas ekses, bukan mengubah sistem pilkada.


Ibarat di lumbung padi ada banyak tikus, untuk menangkap tikus-tikus itu bukannya dengan membakar lumbungnya, melainkan cukup dengan menangkap tikusnya.


Untuk mengatasi “money politics”, bukan dengan mengubah sistem pilkada dari langsung menjadi tak langsung, melainkan dengan memberantas “money politics”-nya.


Kita bukannya menutup mata terhadap ekses pilkada langsung. Akibat masifnya politik uang, maka masif pula korupsi kepala daerah. 


Sejak pilkada langsung digelar pada 2004 hingga kini, sudah ada sekitar 400 kepala daerah/wakil kepala daerah terlibat korupsi. Mengapa?


Karena dalam pilkada sudah terlanjur menggelontorkan banyak uang untuk “money politics”, maka begitu terpilih yang pertama muncul di benak mereka adalah bagaimana agar cepat balik modal.


Kalau sudah balik modal, mereka berpikir lagi bagaimana mencari modal baru untuk pilkada berikutnya. 


Segala cara pun dihalalkan. Antara lain menggangsir APBD, ijon proyek, dan pungutan liar lelang jabatan.


Di sinilah terjadi lingkaran setan korupsi. Rakyat menerima “money politics” dari calon kepala daerah. Kepala daerah terpilih kemudian melakukan korupsi APBD yang notabene uang rakyat.


Kini, DPR yang dikuasai oleh kekuatan oligarki diprediksi akan menyetujui wacana Prabowo agar pilkada dilakukan secara tidak langsung oleh wakil rakyat, bukan secara langsung oleh rakyat.


Prabowo pun tidak akan seperti SBY yang menerbitkan perppu demi menggagalkan sistem pilkada tak langsung yang ditentang rakyat. 


Pasalnya, justru Prabowo sendiri yang melontarkan wacana kembali ke sistem pilkada tak langsung itu.


Alhasil, cuan pun akan beralih dari rakyat ke wakil rakyat.


Demokrasi itu memang mahal, Jenderal! Ataukah memang demokrasi sudah tak penting lagi, sehingga anggaran negara akan dialihkan untuk hal-hal yang lebih penting, seperti kata Prabowo? ***

Penulis blog