CATATAN HUKUM POLITIK

Tahun Politik 2024 Kelam: 'Masa Depan Demokrasi Era Prabowo Suram?'

DEMOCRAZY.ID
Desember 25, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
HUKUM
POLITIK
Tahun Politik 2024 Kelam: 'Masa Depan Demokrasi Era Prabowo Suram?'


Tahun Politik 2024 Kelam: 'Masa Depan Demokrasi Era Prabowo Suram?'


Hiruk-pikuk jagat politik mewarnai sepanjang tahun 2024. Di tahun politik ini, tiga pesta demokrasi lima tahunan digelar sekaligus, yakni Pemilu Presiden (Pilpres), Pemilu Legislatif (Pileg), dan Pemilu Kada (Pilkada). Berbagai kecurangan, pelanggaran konstitusi hingga rendahnya partisipasi pemilih menjadi catatan kelam penyelenggaraan Pemilu 2024.


Sejatinya, pemilu diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia (Luber), jujur dan adil (Jurdil), sebagai asas penyelenggaraan pemilu. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UU No. 7 Tahun 2017 (UU Pemilu). Namun, pergantian kepemimpinan nasional melalui ajang Pilpres yang digelar berbarengan dengan Pileg pada 14 Februari 2024 lalu, tercoreng dengan terjadinya pelanggaran konstitusional.


Pelanggaran konstitusional yang dimaksud, antara lain keterlibatan Presiden periode 2019-2024 Joko Widodo (Jokowi) sebagai ipar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman dalam pengambilan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 ihwal batas usia capres-cawapres. 


Putusan MK itu memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, menjadi cawapresnya Prabowo Subianto. Putusan MK tersebut memunculkan gelombang protes yang besar dari publik, bahkan menjadi sorotan hingga luar negeri. Dari situlah kemudian dibentuk Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang memutuskan Anwar Usman melanggar etik berat, sehingga diberhentikan dari posisi Ketua MK.


Lengsernya Jokowi sebagai presiden ke-7 RI pada 20 Oktober 2024, bukannya meninggalkan jejak kebaikan. Sebaliknya, malah menyisakan berbagai persoalan besar bagi kehidupan berdemokrasi di Tanah Air. Pelanggaran konstitusi oleh Jokowi demi melanggengkan kekuasaan, makin kencang disuarakan sejak awal 2024 lalu.


Salah satunya oleh Petisi 100 yang berisi para tokoh dan aktivis. Mereka antara lain mantan KSAD, Jenderal TNI Purn Tyasno Sudarto, mantan Ketua MPR Amien Rais, Guru Besar UGM Zainal Arifin Mochtar hingga Ketua BEM KM UGM Gielbran M Noor. Petisi 100 bersepakat akar masalah semua persoalan bangsa adalah Jokowi. “Untuk itu menuntut pemakzulan Presiden Jokowi sesegera mungkin dan diadili,” kata Petisi 100, dalam pernyataannya dikutip di Jakarta, Jumat (2/2/2024).


Pemilu 2024 dan Kekotoran Politik Indonesia

Beberapa hari menjelang pencoblosan 14 Februari, tepat pada 11 Februari, kekotoran politik Indonesia pada masa Pemilu 2024 bahkan disorot secara gamblang melalui film dokumenter Dirty Vote. Film yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono itu diakses lewat channel YouTube Dirty Vote sejak hari pertama masa tenang Pemilu 2024.


Film Dirty Vote mengungkap dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024 secara sistematis yang diulas oleh tiga pakar hukum tata negara, yaitu Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari. Mereka menyoroti berbagai instrumen kekuasaan yang digunakan pemerintah untuk memenangkan pemilu dan merusak tatanan demokrasi.


Dalam film ini, Feri Amsari menyebut sebagian besar rencana kecurangan yang terstruktur sistematis dan masif untuk mengakali Pemilu 2024 ini sebenarnya disusun bersama dengan pihak-pihak lain. "Mereka adalah kekuatan yang selama 10 tahun terakhir berkuasa bersama," kata Feri.


Sedangkan Zainal menyinggung pihak yang sedang memegang kunci kekuasaan dalam persaingan politik dan perebutan kekuasaan, yang akhirnya jatuh ke tangan satu pihak, yakni pihak yang sedang memegang kunci kekuasaan di mana ia dapat menggerakkan aparatur dan anggaran. Adapun bagi Bivitri, secara sederhana Dirty Vote merupakan sebuah rekaman sejarah perihal rusaknya demokrasi di Indonesia.


Pemaparan materi ketiga pakar hukum tata negara dalam film itu dipuji oleh publik sebagai fakta untuk membuka mata masyarakat dan mencegah kebodohan yang mampu menghancurkan tatanan politik Indonesia. Hanya dalam hitungan jam sejak dirilis pukul 11.00 WIB hingga pukul 19.00 WIB, film tentang kebobrokan Pemilu 2024 itu telah ditonton lebih dari satu juta kali. Setidaknya dengan 134 ribu unggahan judul film ini juga menjadi trending topic di X.


Pemilu Terburuk Sepanjang Sejarah

Berselang sekitar satu bulan setelah pencoblosan Pilpres dan Pileg 2024, mantan Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK) pada awal Maret 2024, terang-terangan menyebut Pemilu 2024 menjadi penyelenggaraan pesta demokrasi terburuk dalam sejarah. JK merasa, penyelenggaran pemilu saat ini, sangat jelas telah diatur oleh kelompok-kelompok minoritas yang memiliki peluang menggunakan uang untuk meraih kekuasaan.


“Bagi saya, ini adalah pemilu yang terburuk dalam sejarah pemilu Indonesia sejak 1955,” kata JK saat menjadi penbicara di “Election Talk #4: Konsolidasi untuk Demokrasi Pasca Pemilu 2024 Oposisi atau Koalisi”, di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (7/3/2024).


JK pun menyoroti mulai dari masalah dana bansos, politik uang, hingga masalah ancaman selama proses Pemilu 2024, yang semua itu menyebabkan buruknya pesta demokrasi Indonesia saat ini. Politikus senior Partai Golkar itu juga mencermati kemerosotan demokrasi hingga kembalinya rezim otoriter jika masyarakat terlena dengan situasi sekarang. “Apa yang terjadi dengan demokrasi kita? Apa yang terjadi dengan negara kita? Apa yang terjadi dengan kepemimpinan kita sehingga terjadi seperti ini.”


Buruknya Pemilu 2024 juga menjadi catatan rumahpemilu, yang merupakan layanan informasi kepemiluan terpadu untuk kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara yang dikelola Perludem. Rumahpemilu menyorot penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperburuk Pemilu 2024.


KPU Pemilu 2024 adalah KPU terburuk sepanjang sejarah pemilu Indonesia karena penyelenggara utama pemilu ini mengeluarkan peraturan KPU yang bertentangan dengan undang-undang dan putusan MK. Di antaranya adalah PKPU pencalonan anggota DPR/DPRD yang mengaibakan pencalonan perempuan 30 perseb, PKPU percepatan pencalonan mantan koruptor, dan PKPU daerah pemilihan.


Adapun MK terburuk berkaitan dengan putusan MK 90/2023. Putusan ini telah melampaui kewenangannya. Sebagai kekuasaan yudisial, MK malah menambah norma hukum syarat capres/cawapres dalam UU 7/2017. Padahal ini kewenangannya DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang. “Seharusnya, jika mau menambah norma hukum politik mudah seperti isi putusan itu, prosesnya ada di DPR/pemerintah melalui revisi UU 7/2017 tentang Pemilu,” kata Peneliti di Perludem Usep Hasan Sadikin.


Tingginya Golput di Pilkada 2024

Menjelang pengujung tahun ini, gagap-gempita pesta demokrasi lima tahunan ditutup dengan Pilkada yang digelar pada 27 November lalu. Selesainya Pilpres dan Pileg yang diwarnai sejumlah catatan kelam juga membawa dampak buruk pada Pilkada serentak. Tingkat partisipasi masyarakat di pilkada ini menjadi merosot, baik dibandingkan Pileg dan Pilpres pada Februari lalu maupun bila dibandingkan dengan pilkada di tahin-tahun sebelumnya.


Berdasarkan catatan Komisi II DPR, angka partisipasi Pilkada 2024 hanya 50 persen, bahkan di bawah 50 persen jika dibanding pilkada sebelumnya. Pada pelaksanaan Pilkada 2015, angka partisipasi pemilih mencapai 64,02 persen, kemudian pada Pilkada 2017 angkanya naik menjadi 74,20 persen. Selanjutnya pada Pilkada 2018 tingkat partisipasi pemilih mencapai 73,24 persen dan pada Pilkada 2020 sebanyak 73,4 persen. “KPU harus evaluasi total terhadap pelaksanaan pilkada kali ini,” kata anggota Komisi II DPR Mohammad Toha di Jakarta, Sabtu (30/11/2024).


Buruknya tiga pemilu sepanjang 2024, yakni pilpres, pileg hingga pilkada menjadi potret buram kehidupan demokrasi Indonesia. Upaya mewujudkan demokrasi substantif sebagai salah satu cita-cita Reformasi 1998, saat ini dinilai semakin menjauh dari semangat Reformasi.


Dengan sederet catatan buruk Pemilu 2024, kehidupan demokrasi yang suram membayangi ke depannya. Apakah dengan pergantian kepemimpinan nasional di tahun politik 2024 akan membuat demokrasi di era pemerintahan Prabowo Subianto bisa menjadi lebih baik? Atau bahkan menjadi lebih buruk?


Sumber: INILAH

Penulis blog