DEMOCRAZY.ID - Anggaran Pemerintah Bayar Buzzer dan Media nyampe 1 T lebih,
pantesan ada Buzzer yang sampe bisa beli Vila di Bali .
Pajak mu dipakai buat bayar BuzzeRp cok !!!.
👇👇
[DOC]
Pajakmu dipake untuk bayar buzzer. Padahal pajak kena ke semua barang termasuk sabun, odol, dan semua kebutuhan pokok lainnya.#TolakKenaikanPPN12Persen #TolakPPN12Persen#PajakMencekik #PPNMemperkuatOligarki pic.twitter.com/BA2UmZghLW
— Prima プリマ 🦉 (@primawansatrio) December 21, 2024
trilliun cuy, 1209 milliar, itu banyak bgt, pantes buzzer ngejilat abis sampe bikin villa di bali ckck
— zfh (@zfhorsed) December 22, 2024
[FLASHBACK] Ngerinya Buzzer Jokowi! Dibayar Mahal Hanya untuk Merusak Nilai-Nilai Demokrasi
Menurut Mardani jika pemerintah berani merevisi UU ITE itu yang dinilai pasal karet bagi aktivis pengkritik berarti Jokowi serius dengan pernyataannya.
Demikian disampaikan Anggota Komisi II DPR RI itu dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, di Jakarta, Rabu (10/2/2021).
“Jika serius ayo lakukan revisi UU ITE, khususnya Pasal 27, 28, dan Pasal 45. Yang sering jadi landasan pasal karet,” kata Mardani.
Lebih lanjut, anak buah Ahmad Syaikhu itu juga meminta pemerintah untuk menertibkan para buzzernya yang kerap mengerang para pengkritik di media sosial.
Menurut Ketua DPP PKS itu para -buzzer-buzer bayaran tersebut merusak nilai-nilai demokrasi Indonesia.
“Itu kanker yang harus diberantas. Merusak ruang publik. Justru membuat persepsi publik pada Pak Jokowi jadi buruk,” jelas Mardani.
Selain itu, Mardani juga menyarankan Presiden Jokowi untuk melihat survei yang menyebutkan bahwa masyarakat takut menyampaikan pendapat.
“Mestinya Pak Jokowi membaca beberapa hasil survei yang menyatakan masyarakat kian takut memberi pendapat. Justru indeks demokrasi Indonesia tahun ini turun, Ini jadi alarm bagi kesehatan demokrasi Indonesia,” pungkasnya.
Sementara itu, Pengamat Politik Zaenal Muttaqin menantang Presiden Jokowi membebaskan para aktivis yang ditangkap oleh Polisi.
Menurut Zaenal para aktivis tersebut ditangkap karena dianggap melanggar UU ITE karena mengkritik kebijakan pemerintah.
Seperti aktivis Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan yang sekarang dalam tahap proses hukum lantaran mengkritik kebijakan pemerintah.
Ia mengatakan sebelum Presiden meminta masyarakat aktiv mengkritik pemerintah, terlibih dahulu membesabaskan jeratan hukum kepada para aktivis yang sedang dalam masa tahanan polisi.
“Sebelum mengatakan itu, setidaknya Presiden membebaskan Jumhur dan Syahganda Nainggolan dan Kawan-kawan,” tegasnya di Jakarta, Rabu (10/2/2021).
Menurut Kordinator Progres 98 itu para aktivis ditangkap dan diproses hukum karena mengkritik pemerintah.
Padahal, lanjut Zaenal dalam sistem demokrasi dan Ideologi Pancasila pengkritik seharusnya diberi ruang kebebasan mengkritik kebijakan pemerintah.
Zaenal juga mengaku heran dengan sikap orang nomor satu di Indonesia itu yang tiba-tiba meminta masyarakat aktiv mengkritik kebijakan pemerintah.
Akan tetapi, tambah Zaenal pernyataan pemerintah kadang bertolak belakang dengan kenyataan yang di lapangan
“Saya agak heran dengan ini, apa ini masukan dari timnya, krn seringkali statemen bertolak belakang dengan kenyataan,” tandasnya.
Untuk diketahui, Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat merupakan anggota Koalisi Aksi Menyalamatkan Indonesia (KAMI).
Kedua pentiggi KAMI itu ditangkap oleh Bareskrim Polri terkait tudingan menunggangi demo UU Ciptaker di sekitaran Istana Kepresidenan dan Patung Kuda beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta masyarakat lebih aktif dalam menyampaikan kritik dan masukan terhadap kerja-kerja pemerintah.
Ia juga meminta penyelenggara layanan publik terus meningkatkan kinerja.
“Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan,” kata Jokowi melalui tayangan YouTube Ombudsman RI, Senin (8/2).
Menaksir Bayaran Para Buzzer Jelang Pilkada 2024, Nominalnya Bisa Bikin Orang Resign Kerja, Tertarik Melamar?
DEMOCRAZY.ID - Buzzer adalah sekelompok orang atau individual yang menyebarkan informasi di media sosial untuk mencapai agenda tertentu.
Para buzzer bisa dikatakan orang yang selalu menggiring opini agar pihak tertentu terlihat bagus dan citra lawannya tampak buruk.
Mereka dibayar dengan nominal yang cukup fantastis hanya untuk menggiring opini atau menggaungkan agenda tertentu.
Menjelang Pilkada 2024 pada November nanti, diprediksi profesi buzzer saat ini tengah naik daun.
Istilah buzzer memang memiliki konotasi negatif dan selalu dikaitkan dengan dunia politik.
Lalu, berapa bayaran yang didapat para buzzer? Apakah rumor tentang jumlahnya yang mencapai jutaan hingga ratusan juta itu benar?
Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2019 oleh Universitas Oxford Inggris, profesi penggiring opini di Indonesia diperkirakan mendapat upah Rp1 juta hingga Rp50 juta.
Penelitian lain mengatakan bahwa buzzer dibayar Rp50 ribu hingga Rp200 ribu per bulan.
Oleh karena itu, mereka membuat banyak akun agar bayarannya bisa setara dengan buruh pabrik atau pekerja kantoran.
Mereka bisa membuat lebih dari 30 akun media sosial dan bisa mendapat sekitar Rp6 juta per bulan.
Sementara itu, riset yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) profesi ini terbagi menjadi 3 level.
Level pertama adalah buzzer yang dibayar Rp2 juta hingga Rp7 juta per 50 atau 100 akun.
Kemudian di level kedua ada koordinator yang bertugas menyusun strategi yang akan dieksekusi oleh buzzer dan dibayar Rp5 juta hingga Rp15 juta per proyek.
Selanjutnya ada influencer yang punya followers banyak dan dibayar lebih dari Rp20 juta atau mendapat jatah jabatan politis.
Dalam laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), pada periode 2014-2020, pemerintah mengeluarkan anggaran untuk aktivitas digital dengan total Rp1,29 triliun.
Adapun, sebesar Rp90,45 miliar diarahkan untuk para influencer pada periode yang sama.
Jadi, tertarik melamar menjadi buzzer yang diprediksi jadi profesi paling naik daun jelang Pilkada 2024?
Sumber: PojokSatu