CATATAN POLITIK

'Siapa Gerangan Tongkat Putih Yang Harus di Buang Prabowo Itu?'

DEMOCRAZY.ID
Desember 25, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Siapa Gerangan Tongkat Putih Yang Harus di Buang Prabowo Itu?'


'Siapa Gerangan Tongkat Putih Yang Harus di Buang Prabowo Itu?'


Prabowo Subianto, sebagai seorang figur penting dalam politik Indonesia, sedang menghadapi sebuah momen penting dalam perjalanan politiknya. 


Seperti halnya seorang buta yang pertama kali bisa melihat, ia kini berada pada titik di mana dia harus meninggalkan ‘tongkat’ yang telah membantunya selama ini, meskipun tongkat itu telah menjadi simbol kekuatan dan kendali. 


Dalam dunia politik yang penuh dengan dinamika, tongkat tersebut adalah simbol masa lalu—penghalang bagi perjalanan menuju perubahan yang lebih baik. 


Menjauhkan diri dari tongkat ini bukan hanya sebuah langkah cerdas, tetapi juga sebuah kebutuhan mendalam untuk menemukan keseimbangan baru dalam kepemimpinan.


Tongkat yang Tidak Berguna

Dalam metafora ini, tongkat adalah simbol dari pendekatan dan kebiasaan lama yang selama ini menuntun Prabowo dalam perjalanan politiknya. 


Namun, di dunia yang terus berkembang, di mana kepercayaan publik menjadi nilai yang sangat krusial, tetap berpegang pada tongkat lama justru bisa menjadi bumerang. Tidak hanya tidak lagi berguna, tongkat itu bisa berpotensi merugikan. 


Dalam politik, keterikatan dengan strategi atau pola pikir yang sudah ketinggalan zaman akan menghalangi kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. 


Sebagaimana kita sering mendengar istilah “outdated paradigms” dalam diskusi-diskusi global, penggunaan metode yang sudah tidak relevan hanya akan memperburuk situasi yang sudah sulit.


Membuang Tongkat, Menyambut Masa Depan

Prabowo harus mengerti bahwa dalam politik modern, “cognitive dissonance”—perasaan ketidaksesuaian antara keyakinan lama dan kenyataan baru—sering kali menjadi hambatan terbesar. 


Ketika seseorang memasuki dunia baru yang penuh dengan peluang dan tantangan, dia harus mampu beradaptasi dengan cepat. 


Prabowo harus meninggalkan metode-metode yang mungkin selama ini memberinya keuntungan, tetapi tidak lagi mencerminkan aspirasi dan harapan rakyat Indonesia.


Tidak ada tempat untuk pendekatan yang terbuka dengan konflik, ketegangan, dan divisif. 


Masyarakat Indonesia semakin menginginkan kepemimpinan yang empathetic, yang mengedepankan dialog dan kolaborasi, bukan dominasi atau ketegangan yang membelenggu. 


Jika Prabowo ingin membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin masa depan, dia harus bisa memisahkan diri dari segala hal yang mengingatkan rakyat pada masa lalu yang penuh kontroversi.


Menggali Potensi Baru

Melangkah ke depan, Prabowo harus menggali potensi dirinya di luar bayang-bayang tongkat tersebut. 


Sebagai seorang pemimpin, penting bagi Prabowo untuk memahami “emotional intelligence”—kemampuan untuk memahami dan mengelola perasaan sendiri dan orang lain. 


Dengan meningkatkan kualitas diri dalam aspek ini, dia akan lebih mampu memahami kebutuhan rakyat dan merespon tantangan dengan cara yang lebih humanis dan efektif.


Tongkat yang dahulu membantunya dalam kegelapan kini harus dibuang. Ia kini harus menatap masa depan dengan mata yang terbuka lebar, siap untuk melihat dunia politik Indonesia yang baru dengan lebih jernih dan bijak. 


Seperti seorang yang telah sembuh dari kebutaan, Prabowo kini harus memimpin dengan penglihatan baru, yang lebih tajam dan peka terhadap perubahan zaman, serta menciptakan ruang bagi inklusivitas dan perdamaian yang lebih besar.


Kesimpulan


Prabowo harus menyadari bahwa tongkat yang pernah menjadi alat untuk bertahan hidup di masa lalu kini harus ditinggalkan, bukan hanya karena sudah tidak relevan, tetapi juga karena keberlanjutannya hanya akan menghalangi jalannya menuju sebuah pemerintahan yang lebih baik. 


Dia harus siap merangkul dunia yang lebih terbuka, lebih adil, dan lebih inklusif. 


Sebagai pemimpin yang berambisi membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, Prabowo harus siap “to let go” dari masa lalu dan membuka diri untuk tantangan baru, demi mencapai “visionary leadership” yang benar-benar dibutuhkan oleh bangsa ini.


Sumber: FusilatNews

Penulis blog