Beranda
CATATAN
HUKUM
POLITIK
'Seni Mencari Ijazah Jokowi Yang Asli'


'Seni Mencari Ijazah Jokowi Yang Asli'


Dalam ruang terang politik dan kekuasaan, sering kali kita dibuat terpesona oleh apa yang terlihat, tetapi melupakan apa yang tersembunyi. 


Sebuah ironi klasik muncul: saat sesuatu yang hilang – entah itu kebenaran, keadilan, atau keaslian – dicari bukan di tempat di mana ia lenyap, melainkan di ruang lain yang lebih nyaman dan penuh sorotan.


Begitu pula dengan “ijazah” – simbol pengetahuan, kredibilitas, dan integritas. Namun, bagaimana jika keaslian ijazah itu dipertanyakan? Apa jadinya jika yang asli terselip di kamar gelap, sementara pencariannya justru diarahkan ke panggung terang yang penuh ilusi? Dalam dunia politik, metafora ini tak hanya berbicara tentang dokumen akademik, tetapi juga tentang keaslian moral dan tanggung jawab seorang pemimpin.


Siasah jahat, seni menyembunyikan kebenaran di balik tabir yang mengelabui, adalah pangkal dari paradoks ini. 


Dan dalam pergulatan mencari “ijazah yang asli,” kita belajar bahwa kegelapan bukanlah musuh sejati. 


Justru, ia menjadi cermin di mana permainan kekuasaan terpantul dengan jelas, jika kita berani menyalakan lentera dan menghadapi apa yang tersembunyi.


Ada sebuah ironi dalam kehidupan: barang yang hilang di kamar yang gelap, justru dicari di luar kamar yang terang. 


Dalam filsafat politik, paradoks ini adalah metafora yang tepat untuk menggambarkan “siasah jahat,” seni manipulasi kuasa yang tersembunyi di balik gemerlap kebenaran palsu.


Siasah – berasal dari akar kata Arab yang bermakna politik, manajemen, dan strategi – adalah permainan taktis yang sering kali digunakan bukan untuk melayani kebaikan bersama, tetapi untuk mengokohkan kekuasaan pribadi atau golongan. 


Dalam praktiknya, siasah jahat ibarat perburuan bayang-bayang, di mana pelaku sengaja menciptakan kegelapan agar dapat memanipulasi yang mencari terang.


Dalam siasah jahat, kita sering menyaksikan bagaimana tirani tersembunyi di balik jargon demokrasi, keadilan menjadi retorika kosong, dan rakyat hanya pion dalam skenario besar yang ditulis para dalang kuasa. 


Konsep plausible deniability – istilah asing yang bermakna penyangkalan yang masuk akal – menjadi tameng mereka. 


Mereka bermain di wilayah abu-abu, bersembunyi di celah aturan, menenun strategi dalam kegelapan, sementara kita semua terjebak mencari jawab di ruang yang sebenarnya telah mereka atur.


Bukankah ini yang sering terjadi dalam politik kita? Barang yang hilang – berupa keadilan, kesejahteraan, dan kebenaran – tak pernah benar-benar dicari di tempat di mana ia lenyap. 


Sebaliknya, upaya pencarian diarahkan ke wilayah terang, tempat opini publik mudah dimanipulasi, dan narasi dapat dikendalikan.


Di bawah cahaya terang media, janji-janji bombastis ditebarkan seperti confetti di pesta pora kekuasaan. 


Namun, di sudut gelap, tak jauh dari kamar, siasah jahat itu merajut agenda-agenda tersembunyi. 


Mereka yang berkuasa tampak seperti philosopher kings, namun sering kali hanya menjadi aktor dalam drama Machiavellian – sebuah istilah dari Niccolò Machiavelli yang mengacu pada strategi manipulasi tanpa moral demi meraih tujuan.


Refleksi Filosofis: Cahaya dan Kegelapan


Dalam renungan filsafat, cahaya dan kegelapan adalah dualitas yang abadi. 


Kegelapan bukanlah ketidakberadaan cahaya, melainkan tempat di mana cahaya dipersembunyikan. 


Begitu pula siasah jahat: ia bukanlah nihilnya kebaikan, melainkan manipulasi atas kebaikan itu sendiri.


Kita, sebagai masyarakat, sering terlena oleh yang terang, seolah cahaya adalah penanda kebenaran. 


Padahal, terkadang, keadilan sejati hanya bisa ditemukan dengan berani masuk ke kamar yang gelap, menyalakan lentera, dan menyingkap apa yang disembunyikan.


Menemukan yang Hilang


Kegelapan, seperti yang diajarkan para filsuf, bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dihadapi. 


Saat siasah jahat menjerat bangsa dalam labirin manipulasi, tugas kita adalah menjadi para pencari yang berani – pencari yang memahami bahwa terang dan gelap hanyalah ilusi jika tak diimbangi oleh kejernihan hati.


Di penghujung narasi ini, kita bertanya: siapkah kita berhenti mencari di luar kamar yang terang, dan memulai langkah untuk menyusuri kegelapan? 


Karena hanya dengan keberanian menghadapi siasah jahat, kita bisa menemukan barang yang hilang: keadilan yang sesungguhnya.


Sumber: FusilatNews

Penulis blog