Sebuah Kebanggaan 'Ketika UGM Memiliki Jokowi dan UI Ada Bahlil'
Indonesia adalah negara yang penuh dengan keajaiban. Tidak hanya soal panorama alam yang menawan, tetapi juga soal kemampuan bangsa ini mencetak pemimpin yang “unik.”
Kali ini, mari kita beri tepuk tangan kepada Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI), dua perguruan tinggi kebanggaan bangsa, atas kontribusinya melahirkan tokoh-tokoh “visioner” seperti Joko Widodo dan Bahlil Lahadalia.
Jokowi: Sarjana Pertanian yang Membuat Kita Semua Bertanya-tanya
Sebagai alumni Fakultas Pertanian UGM, Joko Widodo adalah representasi sempurna dari bagaimana gelar akademik tidak selalu mencerminkan keahlian di bidang yang ditekuninya.
Dengan latar belakang pertanian, siapa sangka beliau justru memilih jalur yang sama sekali “tidak berhubungan”—menjadi presiden yang lebih dikenal karena pembangunan jalan tol dan ibu kota baru daripada reformasi agraria atau swasembada pangan?
Di bawah kepemimpinan beliau, Indonesia yang dahulu dikenal sebagai lumbung pangan kini terpaksa mengimpor garam, jagung, dan beras. Mungkin ini adalah wujud interpretasi kreatif atas ilmu pertanian yang beliau pelajari.
Bagaimana caranya seorang sarjana pertanian bisa mengawasi runtuhnya ketahanan pangan nasional dengan tenang, sungguh patut dikagumi.
Bahlil: Ketika Gelar Doktor adalah Mimpi yang Tertunda
Kemudian, ada Bahlil Lahadalia, sang “calon doktor” dari Universitas Indonesia. Sayangnya, beliau sepertinya terlalu sibuk membuktikan bahwa gelar akademik tidak diperlukan untuk menciptakan sensasi politik.
Dengan alasan yang tidak pernah jelas, gelar doktornya tertunda. Namun, jangan salah, penundaan ini justru menambah dimensi dramatis dalam perjalanan hidupnya.
Bukankah lebih menarik memiliki figur yang bisa “menginspirasi” bahwa pendidikan formal hanyalah ornamen belaka dalam dunia politik?
Bahlil, dengan posisi strategisnya, telah membuktikan bahwa kemampuan beradaptasi lebih penting daripada gelar.
Sebagai contoh, kemampuannya untuk menjadi alat politik bagi pihak tertentu adalah bukti nyata fleksibilitas seorang pemimpin.
Sungguh ironi, bahwa UI, yang dikenal sebagai universitas dengan standar akademik tinggi, memiliki calon doktor yang lebih dikenal karena kontroversinya dibandingkan kontribusinya.
UGM dan UI: Dua Pilar Pendidikan yang Patut Berbangga
Kita harus mengakui, UGM dan UI telah berhasil mencetak figur-figur yang “menghiasi” panggung politik nasional.
Namun, alih-alih menjadi inspirasi, mereka justru sering menjadi bahan cibiran. Apakah ini cerminan keberhasilan pendidikan tinggi di Indonesia? Ataukah ini alarm keras bahwa ada sesuatu yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan dan seleksi pemimpin kita?
UGM, dengan tradisi panjangnya mencetak ahli pertanian, seolah membiarkan Jokowi menjadi simbol ironi: seorang sarjana pertanian yang gagal menyelamatkan sektor agraris Indonesia.
Sementara itu, UI, dengan reputasi sebagai universitas terkemuka, tampaknya harus menanggung beban citra akibat “calon doktor” yang lebih sering tampil sebagai pelaku politik ketimbang intelektual.
Kesimpulan
Barangkali, ini adalah saatnya bagi kedua universitas ini untuk merefleksikan makna sebenarnya dari pendidikan.
Jika pendidikan bertujuan mencetak pemimpin yang mampu memecahkan masalah bangsa, maka alumni seperti Jokowi dan Bahlil mungkin adalah pelajaran mahal bagi kita semua.
Di tengah gemuruh kebanggaan atas reputasi internasional kedua kampus ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah gelar dan prestise kampus benar-benar menjamin kualitas pemimpin?
Ataukah justru kita yang terlalu mudah memberi gelar “kebanggaan” kepada mereka yang, sebenarnya, adalah wajah dari kegagalan kita sendiri?
Mari kita rayakan, dengan sedikit getir, bahwa di Indonesia, kehebatan universitas sering kali diuji bukan oleh apa yang dilakukan lulusannya, tetapi oleh apa yang gagal mereka lakukan.
Sumber: FusilatNews