'Prabowo dan Sekadar Omon-Omon Korupsi'
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Tak bosan-bosannya Prabowo Subianto bicara soal korupsi. Sayangnya, pembicaraan itu diyakini sekadar omon-omon belaka.
Bila sebelumnya, Rabu (18/12/2024), di hadapan para-para mahasiswa Indonesia di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, Presiden RI itu menyatakan akan mengampuni koruptor asal uang hasil korupsinya dikembalikan ke negara, kali ini ia minta agar hakim tidak memvonis ringan koruptor. Apalagi yang menimbulkan kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah.
Hal itu ia sampaikan saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Jakarta, Senin (30/12/2024).
Mungkin saat itu terlintas dalam benak bekas Menteri Pertahanan itu vonis ringan Harvey Moeis.
Suami selebritas Sandra Dewi itu dijatuhi hukuman hanya 6,5 tahun penjara dalam perkara korupsi PT Timah Tbk yang merugikan keuangan negara hingga Rp300 triliun, Senin (22/12/2024).
Disusul kemudian vonis ringan Helena Lim, rekan bisnis Harvey Moeis yang hanya 5 tahun penjara dalam perkara korupsi yang sama, Senin (30/12/2024).
Keduanya diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Kejaksaan Agung, yang menangani perkara tersebut menyatakan akan banding atas vonis riangan Harvey Moeis tersebut.
Hal yang sama mungkin akan dilakukan Korps Adhyaksa itu terhadap vonis lebih ringan Helena Lim.
Mengapa omon-omon Ketua Umum Partai Gerindra itu berubah dari sebelumnya pro-koruptor kini menjadi anti-koruptor?
Tentu saja karena menuai protes dari berbagai pihak. Kaki tangan bekas Komandan Jenderal Kopassus itu pun sibuk melakukan pembelaan. Bahkan menyerang balik para-para pengkritik junjungannya.
Sebut saja misalnya Habiburokhman. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra yang kini menjadi Ketua Komisi III DPR itu menyerang balik Mahfud Md yang mengkritik Prabowo.
Habib, panggilan akrabnya, menyebut bekas Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan itu sebagai orang gagal.
Diketahui, Mahfud memang gagal terpilih saat menjadi calon wakil presiden pendamping capres Ganjar Pranowo di Pemilihan Presiden 2024. Mahfud juga secara jujur dan kesatria mengakui tak berhasil saat menjabat Menko Polhukam.
Pembelaan yang dilakukan politikus Gerindra lainnya, Supratman Andi Agtas yang kini menjabat Menteri Hukum juga tak kalah sengit. Bahkan ia mewacanakan pembayaran denda bagi koruptor.
Setelah menuai kontroversi, akhirnya Supratman meralat ucapannya yang kontroversial itu karena menurut undang-undang, mekanisme pembayaran denda tak bisa diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Entah apa yang berkecamuk dalam benak Prabowo sehingga ketika berada di Al Azhar menyampaikan keinginannya untuk mengampuni koruptor asal uang hasil korupsinya dikembalikan ke negara.
Bukankah itu melanggar aturan? Sebab menurut undang-undang, pengembalian uang hasil korupsi tak menghilangkan tindak pidananya.
Atau mungkin saja apa yang disampaikan Prabowo itu merupakan manifestasi dari alam bawah sadarnya yang memang tidak pro-pemberantasan korupsi.
Masih segar dalam ingatan kita saat kampanye Pilpres 2019 lalu Prabowo menyatakan korupsi yang kecil-kecil boleh, tapi korupsi yang besar-besar tidak boleh.
Senada, politikus Gerindra yang kini jadi Menteri Kebudayaan, Fadli Zon saat itu pernah menyatakan bahwa korupsi adalah oli atau pelumas yang akan melancarkan pembangunan.
Ditambah dengan keberadaan Luhut Pandjaitan yang masih “dipakai” Prabowo sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang menganggap Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah kampungan, maka makin sempurnalah pemerintahan Prabowo yang tidak punya visi dan misi yang jelas dalam pemberantasan korupsi.
Alhasil, ketika Prabowo Subianto bicara soal pemberantasan korupsi, patut diduga hal itu sekadar omon-omon belaka. Itulah! ***