HUKUM POLITIK

Prabowo Berencana Maafkan Koruptor, Mengapa Rencana Itu Disebut Upaya Memanipulasi Hukum?

DEMOCRAZY.ID
Desember 24, 2024
0 Komentar
Beranda
HUKUM
POLITIK
Prabowo Berencana Maafkan Koruptor, Mengapa Rencana Itu Disebut Upaya Memanipulasi Hukum?


Prabowo Berencana Maafkan Koruptor, Mengapa Rencana Itu Disebut Upaya Memanipulasi Hukum?


Presiden Prabowo Subianto berniat menghapus hukuman yang diterima para koruptor, dengan syarat mereka mengembalikan kerugian negara. Rencana itu tidak masuk akal karena konsep pengampunan terpidana korupsi tidak ada dalam sistem hukum Indonesia, kata pakar hukum Bivitri Susanti.


Wacana apa yang sebenarnya digagas Prabowo? Mengapa rencana itu dinilai sebagai upaya memanipulasi hukum?


Apa yang dikatakan Prabowo?

"Hai para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kami maafkan," kata Prabowo dalam pertemuan dengan pelajar Indonesia di Kairo, Mesir, 18 Desember lalu.


"Tapi kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya, bisa diam-diam supaya tidak ketahuan," ujarnya.


Prabowo tidak menjelaskan secara detail wacananya memaafkan orang-orang yang sudah dijatuhi pidana dalam kasus korupsi.


Prabowo hanya berkata, dalam bulan-bulan ini akan memberi kesempatan para koruptor untuk "bertobat".


Penjelasan lebih lanjut dari rencana Prabowo ini diutarakan orang-orang dekatnya di kabinet dan di parlemen.


Wacana memaafkan koruptor adalah bagian dari kebijakan pemberian amnesti dan abolisi kepada setidaknya 44 ribu narapidana.


Pernyataan itu dikatakan Menteri Koordinator Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Izha Mahendra, dalam keterangan tertulis yang dia bagikan kepada pers, 19 Desember lalu.


Yusril, begitu juga Menteri Hukum Supratman Andi Atgas, menyebut narapidana yang akan menerima pengampunan dari Prabowo adalah yang terjerat kasus penggunaan narkotik, penghinaan kepala negara, persoalan makar Papua, dan juga korupsi.


"Presiden mempunyai kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terkait tindak pidana apapun, dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara," klaim Yusril.


Menurut Yusril, penegakan hukum dalam kasus korupsi "harus membawa manfaat dan menghasilkan perbaikan ekonomi, bukan hanya menekankan penghukuman kepada para pelaku."


"Kalau para pelakunya dipenjarakan, tetapi aset hasil korupsi tetap mereka kuasai atau disimpan di luar negeri tanpa dikembalikan kepada negara, maka penegakan hukum seperti itu tidak banyak manfaatnya bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat," ujar Yusril membuat klaim.


Ketua komisi hukum DPR—yang juga petinggi Partai Gerindra—Habiburokhman meminta publik tidak menarasikan rencana pengampunan koruptor sebagai sesuatu yang jahat.


"Kalau orang melakukan pidana, lalu dia kooperatif mengakui kesalahan, mengembalikan hasil kejahatan, tentu itu akan menjadi hal yang akan meringankan," kata Habiburokhman di Gedung DPR, Jakarta, 19 Desember lalu.


'Wacana yang agak gila'

Bivitri Susanti, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, tidak sepakat dengan wacana penghapusan hukuman bagi koruptor—termasuk dengan syarat pengembalian kerugian negara.


Bivitri berkata, pemberian maaf seperti yang dikatakan Prabowo dan anak buahnya tidak diatur dalam Undang-Undang Kitab Hukum Pidana dan UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).


Penjelasan Pasal 4 UU Tipikor menyatakan, "pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut."


Pengembalian kerugian keuangan negara, menurut penjelasan itu, hanya bisa dijadikan sebagai salah satu faktor yang meringankan hukuman.


Pelaksanaan ketentuan ini setidaknya terjadi dalam kasus yang menjerat mantan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi.


Dia divonis bersalah hingga tingkat kasasi, Juli lalu, karena menerima suap dalam proyek BTS 4G pada Bakti Kominfo.


Dalam proses meja hijau, Achsanul mengembalikan seluruh uang suap yang dia terima, sekitar Rp40 miliar. Namun dia tetap dipidana.


Pengembalian uang suap itu, menurut majelis hakim, hanya dapat dijadikan faktor yang meringankan hukuman Achsanul.


UUD Negara Republik Indonesia 1945, kata Bivitri, memang mengatur bahwa Presiden dapat memberi amnesti dan abolisi untuk narapidana—dengan pertimbangan DPR.


Akan tetapi, Bivitri menyebut penghapusan hukuman itu harus didasarkan pada pertimbangan yang terukur secara konstitusi.


Pemberian amnesti dan abolisi oleh presiden selama ini selalu merujuk pada UU nomor 11 yang dikeluarkan tahun 1954.


Regulasi itu tidak merinci jenis tindak pidana yang dapat diampuni oleh presiden.


Menteri Hukum Supratman Atgas baru-baru ini bilang pemerintahan Prabowo berencana menyusun UU tentang amnesti, abolisi, dan grasi yang baru.


Alasan pembuatan regulasi baru itu, kata Supratman, adalah rencana Prabowo "memberikan amnesti untuk kasus-kasus tertentu secara selektif setiap tahun".


Menurut Bivitri, upaya menjadikan amnesti dan abolisi sebagai dasar pemberian maaf untuk koruptor sebagai "wacana yang agak gila dan manipulatif".


"Secara konsep, yang namanya pengampunan koruptor itu tidak dikenal," kata Bivitri.


"Amnesti dan abolisi itu bukan untuk kepentingan yang sifatnya diskresional—yang tidak bisa diukur secara konstitusional," ujarnya.


Bivitri juga menyangkal klaim lain yang dikatakan Yusril. Wacana pengampunan untuk koruptor yang mengembalikan kerugian negara, kata Yusril, sesuai dengan Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC), yang telah diratifikasi Indonesia pada 2006.


"Penekanan upaya pemberantasan korupsi sesuai pengaturan konvensi adalah pencegahan, pemberantasan korupsi secara efektif, dan pemulihan kerugian negara," kata Yusril.


Merujuk berkas UNCAC, yang dikatakan Yusril adalah poin-poin utama yang disarankan PBB. Namun Bivitri berkata, tidak ada satupun ketentuan dalam konvensi itu yang menganjurkan pemerintah suatu negara menghapus hukuman koruptor.


"Tidak ada pengampunan semacam itu di UNCAC," ujar Bivitri.


Bagaimana dampaknya untuk efek jera?

Yusril menganggap konsep efek jera sudah tidak relevan dengan dalam sistem hukum Indonesia, termasuk dalam pemidanaan kasus korupsi. Menurutnya, efek jera adalah konsep era penjajahan Belanda di Indonesia.


"Pidana baru tidak lagi banyak bicara efek jera," ujar Yusril di kantornya, Jumat lalu. "Otak kita ini kan otak Belanda," tuturnya.


Yusril membuat klaim, pemidanaan kasus korupsi dirancang agar koruptor menyadari perbuatannya. Dalam konteks itulah, kata Yusril seperti halnya Prabowo, pemerintah memberi rehabilitasi untuk koruptor.


"Taubat nasuha. Kira-kira begitu," kata Yusril.


Klaim Yusril ini juga disangkal Bivitri.


Pengampunan dengan syarat mengembalikan kerugian negara, kata Bivitri, justru berpotensi melanggengkan kejahatan yang masuk kategori luar biasa ini.


"Yang melakukan korupsi itu bukan orang miskin yang korupsi, tapi orang-orang yang serakah.


"Dengan konsep pengampunan ini, mereka bisa memperkirakan risiko, tinggal kembalikan uang. Korupsinya Rp5 triliun, mereka kembalikan 500 miliar."


"Mereka tetap akan untung dan tidak akan ada sama sekali efek jera," kata Bivitri.


Apa kata mantan koruptor?

Patrice Rio Capella adalah pernah menjabat Sekretaris Jenderal Partai Nasdem. Tahun 2015, dia dijatuhi hukuman penjara 1,5 tahun.


Dia divonis bersalah karena menerima uang Rp200 juta—imbalan mengamankan eks Gubernur Sumatra Utara Gatot Pujo Nugroho yang terseret kasus korupsi dana bantuan sosial di kejaksaan.


Saat ditanya pendapatnya tentang wacana penghapusan hukum koruptor, Rio menyebut wacana yang disampaikan Prabowo sebagai "terobosan hukum".


Negara, menurut Rio, selama ini tidak mendapatkan keuntungan apapun dengan sistem hukum yang berfokus memenjarakan koruptor.


Walau hakim hampir selalu menjatuhkan pidana denda untuk para koruptor, Rio bilang para pemakan uang rakyat lebih memilih menebusnya dengan perpanjangan masa penjara ketimbang membayar.


"Mereka tidak bayar. Negara dapat apa? Itu intinya," kata Rio.


Merujuk riset Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tindak pidana korupsi pada 2022 merugikan negara hingga Rp48,7 triliun. Dari jumlah itu, negara hanya mendapat Rp3,8 triliun melalui denda atau pidana pengganti yang dibayarkan koruptor.


Lebih dari itu, Rio menyebut pemerintah justru harus mengeluarkan anggaran miliaran rupiah per tahun untuk memberi makanan koruptor.


"Itu belum termasuk biaya pengamanan—gaji pegawai lapas—dan biaya yang lain-lain. Negara tidak dapat apa-apa dengan menghukum koruptor yang mungkin merugikan negara triliunan rupiah," kata Rio.


Pendapat Rio ini disanggah oleh Bivitri.


Pemidanaan koruptor, menurut Bivitri, tidak semestinya dihubungkan dengan upaya meningkatkan pendapatan negara.


"Konteks hukum pidana itu bukan meningkatkan pendapatan negara, tapi untuk mencegah tindak pidana korupsi," kata Bivitri.


"Koruptor maupun oligarki di negara ini terus-terusan mendapat keuntungan—dikasih amnesti pajak, kasih berikan fasilitas pajak, pembebasan pajak dan segala macam.


"Kalau negara perlu pendapatan, terapkan pajak progresif seperti di banyak negara lain. Pajaki orang kaya secara proporsional," ujar Bivitri.


'Perlu revisi peraturan secara besar'

Eks penyidik KPK, Yudi Purnomo, bilang bahwa perlu perubahan regulasi jika Prabowo benar-benar ingin mengampuni koruptor.


Serupa Bivitri, dia menyebut sistem hukum yang saat ini berlaku mengatur bahwa pengembalian kerugian negara dapat tidak menghapus pemidanaan.


Menurut Yudi, pengampunan koruptor harus memiliki dasar hukum yang sangat rinci, dari kategorisasi besaran kasus hingga ancaman hukuman lebih besar jika koruptor yang sama kembali terlibat patgulipat.


"Kita bisa melihat bagaimana hukuman badan koruptor itu ringan dan mereka juga mendapat remisi atau pembebasan bersyarat," kata Yudi.


"Mereka pun tidak bisa dimiskinkan karena belum ada UU Perampasan aset [yang tidak kunjung disahkan meski telah masuk Program Legislasi Nasional].


"Untuk merumuskan wacana ini diperlukan pemikiran dan pembahasan mendalam agar bisa komprehensif," ujar Yudi.


Sumber: BBC

Penulis blog