'PPN 12 Persen Untuk Siapa'
Pada 5 Desember 2024, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengungkapkan bahwa tarif PPN 12% yang akan berlaku mulai Januari 2025 hanya akan dikenakan pada barang mewah. Namun, apakah benar demikian? Atau ini hanya sekadar janji yang tertuang dalam narasi populis yang belum teruji dalam realita kebijakan? Ini adalah pertanyaan yang layak dipertanyakan, mengingat dampak kenaikan tarif PPN ini begitu besar bagi daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah yang semakin terjepit.
Tentu, jika memang PPN 12% hanya dikenakan pada barang mewah, kabar ini akan menjadi angin segar bagi banyak orang. Terutama bagi kelas menengah yang kini sedang mengalami pelemahan daya beli. Sebagai contoh, dalam periode 2018 hingga 2023, jumlah penduduk kelas menengah Indonesia mengalami penurunan signifikan, dari 61 juta orang menjadi 52 juta orang, atau sekitar 9 juta jiwa.
Sebuah penurunan yang mencerminkan berkurangnya daya beli masyarakat, yang berdampak langsung pada konsumsi dan tabungan. Jika hal ini terus berlanjut, bagaimana mungkin Indonesia bisa mengharapkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan jika kontributor utama konsumsi domestik semakin sedikit?
Namun, di balik pernyataan tersebut, sebuah pertanyaan besar tetap menggelayuti benak kita: apakah kebijakan ini benar-benar sesuai dengan kenyataan? Di saat yang sama, proporsi tabungan terhadap total pengeluaran masyarakat juga mengalami penurunan yang signifikan. Tren ini bisa kita lihat dengan jelas dari data yang menunjukkan penurunan rata-rata simpanan per rekening, yang turun dari Rp 3 juta pada 2019 menjadi Rp 1,8 juta pada 2023.
Hal ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah, karena sebagian besar masyarakat kini mengandalkan tabungan mereka untuk mempertahankan konsumsi. Ini adalah indikator yang sangat mengkhawatirkan mengenai kesehatan ekonomi rumah tangga Indonesia.
Di sisi lain, jika pemerintah hanya ingin mengandalkan peningkatan penerimaan dari PPNBM, maka kebijakan ini patut dipertanyakan. Mengingat, jika kita melihat data kontribusi PPNBM terhadap penerimaan negara, rata-rata antara 2013 hingga 2023, kontribusinya bahkan tidak mencapai 2%.
Jika pemerintah berharap dengan menaikkan PPNBM untuk mendongkrak penerimaan pajak, maka kita sedang berbicara tentang kebijakan yang jauh dari efektif. Ini bukan sekadar soal menaikkan angka pajak, tetapi soal bagaimana kita memanfaatkan pajak untuk pembangunan yang lebih inklusif dan adil.
Jika pemerintah hendak mencapai target penerimaan pajak yang lebih tinggi, maka kebijakan yang lebih holistik dan terintegrasi sangat diperlukan. Pada Oktober 2024, penerimaan pajak Indonesia tercatat sebesar Rp 1.517,53 triliun, hanya mencapai 76,3% dari target penerimaan tahunan.
Dalam waktu yang terbatas, tampaknya akan sangat sulit bagi pemerintah untuk mencapai 100% target di tahun 2024. Jika pencapaian target ini saja sudah terancam gagal, bagaimana bisa kita berharap pada kebijakan yang hanya mengandalkan kenaikan tarif PPNBM yang kontribusinya sangat kecil?
Lebih jauh lagi, dengan berbagai program besar yang dicanangkan pada tahun 2025, seperti makan bergizi gratis, cek kesehatan gratis, renovasi sekolah, dan lumbung pangan, yang membutuhkan anggaran sekitar Rp 109 triliun, jelas bahwa penerimaan pajak yang ada saat ini tidak cukup untuk membiayai semua program tersebut.
Itu pun baru empat program, belum yang lainnya. Program-program ini, meskipun penting, akan membutuhkan pembiayaan yang sangat besar, yang seharusnya dipikirkan dengan matang sebelum kebijakan pajak yang tidak tepat diberlakukan.
Selain itu, kolaborasi antara pemerintah dan DPR memang penting, tetapi DPR seharusnya juga memahami dengan lebih baik kondisi penerimaan pajak negara. Kita harus ingat, seperti yang dikatakan oleh Mansfield (1972), bahwa tax buoyancy adalah rasio perubahan penerimaan pajak terhadap pendapatan negara.
Di Indonesia, tax buoyancy pada 2023 tercatat hanya 0,88, yang artinya sistem perpajakan kita masih kurang responsif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini adalah fakta yang harusnya menjadi dasar evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan perpajakan yang sedang dijalankan.
Jika pemerintah benar-benar ingin meningkatkan penerimaan pajak melalui PPNBM, maka harus ada evaluasi mendalam terhadap kebijakan pembebasan PPNBM untuk mobil listrik dan hybrid. Kebijakan ini, meskipun dilatarbelakangi oleh tujuan untuk mendukung kendaraan ramah lingkungan, berpotensi menjadi langkah yang justru memberi kelonggaran pajak kepada kelompok masyarakat yang lebih mampu, yakni mereka yang membeli mobil mewah.
Inilah yang memunculkan ketidakkonsistenan dalam kebijakan pemerintah, di mana di satu sisi mereka menaikkan pajak untuk beberapa barang, tetapi di sisi lain memberi insentif pajak kepada orang-orang yang sudah kaya.
Ironisnya, kita melihat bahwa ada ketidakselarasan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Di satu sisi, pemerintah berupaya untuk menaikkan tarif PPN, sementara di sisi lain, melalui kebijakan tax amnesty, mereka memberi kelonggaran kepada orang-orang yang seharusnya membayar pajak lebih tinggi. Ini menunjukkan inkonsistensi dalam pengelolaan kebijakan fiskal yang justru memberi ruang bagi orang-orang kaya untuk menghindari kewajiban pajak yang seharusnya mereka bayar.
Pajak, pada akhirnya, adalah instrumen untuk membangun perekonomian suatu negara dan mewujudkan keadilan sosial. Namun, jika kebijakan pajak yang diambil justru tidak tepat sasaran dan tidak merata, maka yang terjadi adalah sebaliknya.
Kebijakan yang kurang bijaksana bisa menurunkan konsumsi masyarakat, memperlambat investasi, dan merugikan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Pada akhirnya, kebijakan ini bisa memperlebar jurang ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, dan menghambat tercapainya tujuan pembangunan yang inklusif.
Jika kita terus mendengar janji-janji kebijakan yang tidak jelas arahnya, sementara pelaksanaan yang tidak konsisten terus berlanjut, maka kita hanya akan terjebak dalam siklus kebijakan yang memihak segelintir orang, sementara rakyat banyak tetap terabaikan.
Saatnya kita merenungkan kembali apakah kebijakan pajak yang diberlakukan sudah benar-benar berpihak pada kesejahteraan masyarakat luas, ataukah hanya menjadi alat untuk memperkaya segelintir pihak yang sudah memiliki kekuatan dan kekayaan lebih. DPR sebagai wakil rakyat perlu mencermati hal ini lebih jauh, jika memang masih ingin berpihak terhadap rakyat.
Sumber: Inilah