'Polemik Susu di Menu Sepuluh Ribu'
Simulasi program makan bergizi gratis tak berjalan mulus. Kualitas menu dipertanyakan banyak pihak. Sementara itu, di tengah rentetan uji coba, alokasi anggaran tiap porsi makanan justru dipotong.
Simulasi program makan bergizi gratis yang dilaksanakan di beberapa sekolah baru-baru ini mendapat tanggapan beragam dari para siswa. Meski menu yang disajikan cukup bervariasi, beberapa siswa mengeluhkan aspek kualitas makanan dan pelaksanaannya.
Okta (bukan nama sebenarnya), salah satu siswa sekolah menengah pertama peserta simulasi program di Jakarta mengatakan, saat simulasi, seluruh siswa menerima makanan yang disajikan dalam bentuk nasi kotak. Menu makan siang terdiri dari nasi putih, ayam goreng, sayur capcay, tahu atau tempe goreng, susu cokelat dalam kemasan kecil (125 ml), dan pisang.
Namun, ia mengungkapkan, ada beberapa hal yang kurang memenuhi harapannya. “Karena mungkin sudah disiapkan dari pagi, nasinya jadi keras dan makanannya dingin,” ungkapnya kepada detikX, pekan lalu.
Ia menambahkan, susu yang disediakan berukuran kecil dengan kemasan bergambar sapi. Sedangkan pisang yang diberikan berukuran sangat kecil. Bahkan ia menyebutnya “seukuran kelingking.”
Hal lain yang ia keluhkan adalah pengemasan makanan yang menggunakan kotak kardus. Menurutnya, kardus tersebut sedikit memengaruhi rasa makanan. Selain itu, suhu lingkungan yang panas juga membuat kualitas makanan menurun. Okta berharap, jika program ini diadakan lagi, penyajian makanan dapat lebih diperhatikan.
“Harusnya makanan disiapkan lebih dekat dengan waktu penyajian supaya tidak keras atau dingin. Atau mungkin memilih makanan yang lebih tahan lama tanpa mengubah rasa,” ujarnya. Meskipun demikian, ia merasa makanan tersebut cukup untuk membuatnya kenyang, walaupun ia mengakui tidak menghabiskan makanannya.
Sementara itu, di sekolah lain kondisinya tak jauh berbeda. Menu yang disajikan terdiri dari nasi, ayam goreng, tempe, tumis sayur, susu kemasan kecil, dan pisang. Sekilas, menu ini tampak menggugah selera, namun para siswa mencatat beberapa kekurangan.
“Nasinya sudah keras, dingin banget, begitu juga lauknya. Ayamnya juga kecil banget, mungkin cuma seukuran dua ruas jari,” ungkap Kristi (bukan nama sebenarnya), salah satu siswa sekolah menengah pertama di Jakarta. Ia menambahkan, “Kirain ayamnya gede, tapi ternyata kecil sekali. Seperti paha ayam kecil yang bahkan tidak seperti ayam pada umumnya.”
Selain rasa dan ukuran makanan, ada harapan lebih tinggi terkait penyajian makanan. Makanan disajikan dalam kardus putih polos tanpa logo, yang menurut siswa tersebut kurang higienis. “Kalau bisa pakai food tray stainless steel, seperti di rumah sakit, supaya lebih bersih," tambahnya.
Siswa juga mengeluhkan tata cara pelaksanaan program ini. Makan siang diberikan setelah jam istirahat, tetapi siswa tidak diizinkan keluar kelas selama istirahat. Sebagai gantinya, mereka mengikuti permainan di kelas sambil menunggu makanan datang. “Jadi kami nggak benar-benar istirahat,” katanya.
Ketidakpuasan ini menjadi catatan penting bagi pihak penyelenggara program. Siswa berharap agar makanan yang disajikan lebih baik kualitasnya. “Semoga ayamnya lebih besar, makanannya nggak dingin, tempatnya lebih higienis, dan buah-buahannya segar,” ucapnya.
Sementara itu, orangtua siswa di salah satu SD di Bandung yang detikX hubungi, juga mengeluhkan beberapa hal terkait program tersebut. Meski disambut baik sebagai upaya meningkatkan gizi anak, pelaksanaannya masih diwarnai sejumlah kendala.
Rini (bukan nama sebenarnya), salah satu orang tua siswa mengatakan, pada tahap pertama uji coba yang berlangsung dari Juli hingga Oktober 2024, distribusi makanan dilakukan secara bergilir. Hal ini karena jumlah porsi yang tersedia tidak mencukupi seluruh siswa.
“Anak saya hanya mendapat jatah kalau masuk sekolah pagi. Kalau giliran masuk siang, mereka tidak kebagian,” ungkap Rini kepada detikX pekan lalu.
Keterbatasan ini menciptakan kesenjangan dalam penerapan program. Sejumlah siswa yang tidak mendapat bagian harus tetap membawa bekal sendiri, sehingga tujuan pemerataan gizi belum sepenuhnya tercapai.
Di awal pelaksanaan, pemberitahuan kepada orang tua dilakukan melalui surat resmi. Namun, seiring waktu, informasi hanya disampaikan melalui grup WhatsApp sekolah. Minimnya pendekatan resmi ini dinilai kurang profesional dan menyulitkan beberapa orang tua, terutama yang mungkin tidak aktif dalam grup WhatsApp atau tidak menerima informasi tepat waktu.
Adapun menu makanan yang disediakan terdiri dari nasi, protein hewani, sayuran, buah-buahan, dan susu. Namun, tidak semua anak menyukai menu yang diberikan. Meskipun demikian, Rini mengapresiasi upaya penyediaan menu yang bervariasi. “Anak saya sangat senang dengan program ini, terutama karena bisa makan bersama teman-temannya,” tambahnya.
Di sisi lain, keberadaan susu kemasan di menu-menu percobaan program makan bergizi gratis menuai kritik dari para pakar gizi. Salah satu sorotan datang dari dr. Tan Shot Yen, seorang dokter ahli gizi, yang mempertanyakan keberadaan susu dalam menu percobaan program ini.
“Jargon lawas itu masih berdengung (susu sebagai menu wajib), ibarat orde lama yang tak usai propagandanya. Yuk, move on. Bangsa ini punya potensi besar dalam pemberian pangan bayi, anak, hingga lansia. Tak perlu ditunggangi kepentingan yang menyitir konsep lawas,” ungkap dr. Tan.
Ia menekankan susu bukanlah satu-satunya sumber protein hewani yang penting. “Banyak studi membuktikan asupan protein hewani selain susu memberi dampak tumbuh kembang yang sama dengan konsumen susu.”
Pandangan dr. Tan sejalan dengan perubahan paradigma gizi di Indonesia sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 Tahun 2014. Dalam regulasi tersebut, konsep “4 Sehat 5 Sempurna” resmi ditinggalkan, digantikan dengan pedoman gizi seimbang. Gizi seimbang menekankan pentingnya kualitas dan kuantitas asupan yang mencakup makronutrien seperti karbohidrat, protein, dan lemak, serta mikronutrien seperti vitamin dan mineral.
“Susu hanyalah salah satu bagian dari sumber protein hewani, yang juga bisa diperoleh dari telur, ayam, ikan, daging, serta olahannya. Sayangnya, euforia susu ini bahkan membuat banyak ibu yang masih menyusui bayinya beralih ke susu kemasan, padahal ASI sebaiknya diberikan hingga usia dua tahun atau lebih,” jelas dr. Tan kepada detikX pekan lalu.
Menurutnya, penggunaan susu dalam program makan bergizi juga mengabaikan fakta bahwa lebih dari 80 persen etnis Melayu, termasuk sebagian besar masyarakat Indonesia, memiliki intoleransi laktosa. “Tubuh mereka tidak mampu mencerna susu dengan baik, dan ini justru dapat merugikan kesehatan,” katanya.
Dr. Tan juga mengkritik banyak anak Indonesia tidak menyukai susu murni (plain) sehingga sering kali yang dibagikan adalah susu dengan tambahan rasa dan gula.
Ia mengingatkan program makanan bergizi seharusnya tidak hanya memperhatikan ketersediaan pangan, tetapi juga kecocokan dengan kebutuhan masyarakat lokal. “Posyandu (misalnya) harus menyediakan makanan tambahan (PMT) berdasarkan konsep yang benar, agar tidak berat sebelah menguntungkan pihak-pihak tertentu sementara kearifan lokal dan kebutuhan sebenarnya terabaikan,” tambahnya.
Dokter Tan mengajak semua pihak untuk lebih bijak dalam memahami dan mengimplementasikan konsep gizi seimbang. “Mari beranjak dari pola pikir lama dan memanfaatkan kekayaan sumber pangan lokal kita. Anak Indonesia tidak hanya membutuhkan makanan bergizi, tetapi juga pendidikan yang benar tentang gizi,” tutupnya.
Sementara itu, ditemui di kantornya, Humas Badan Gizi Nasional (BGN) Kombes Pol Lalu Muhammad Iwan Mahardan mengonfirmasi tidak semua simulasi makan bergizi gratis (MBG) diselenggarakan oleh BGN. Sejumlah acara simulasi disekolah-sekolah digelar tanpa koordinasi dengan BGN. Termasuk sejumlah simulasi yang dihadiri oleh Wakil Presiden. Menurutnya salah satu simulasi yang dilakukan dengan koordinasi BGN adalah gelaran simulasi di sekolah di daerah Jakarta Barat.
Ia juga mengonfirmasi, menu dalam program tersebut nantinya tidak harus menggunakan susu. Keberadaan susu dapat diganti oleh protein lain. Terlebih dengan anggaran baru, susu kemasan dinilai terlalu mahal.
Di sisi lain Iwan menegaskan Badan Gizi Nasional (BGN) kini tengah bersiap meluncurkan program makan bergizi gratis. Program tersebut, yang sebelumnya dikenal sebagai makan siang gratis, mengalami sejumlah perubahan signifikan, baik dalam konsep maupun pelaksanaannya.
Program tersebut sebelumnya dirancang hanya untuk makan siang, tetapi kemudian berubah menjadi makan bergizi agar cakupannya lebih luas. “Awalnya hanya makan siang, tetapi target kami adalah anak-anak dari TK hingga SMA. Anak TK pulang pagi, jadi konsep makan siang diubah menjadi makan bergizi,” jelas Iwan.
Terkait alokasi anggaran, Iwan mengungkapkan nominal Rp 10.000 per porsi yang ditetapkan pemerintah hanya untuk biaya menu makanan. BGN mengaku masih dalam tahap penyesuaian mekanisme akibat perubahan anggaran ini. Sebelumnya sempat dicetuskan anggaran tiap porsi adalah Rp15.000.
“Angka Rp 10.000 ini merupakan arahan dari Pak Prabowo. Dana tersebut hanya untuk menu makanan, sedangkan operasional lainnya seperti gaji karyawan dapur berasal dari sumber lain,” jelas Iwan kepada detikX, Jumat 6 Desember 2024.
Sumber pendanaan program ini diklaim sepenuhnya berasal dari pemerintah pusat. Meski demikian, pelaksanaan di lapangan akan melibatkan berbagai pihak. Adapun untuk pelaksanaan, dapur akan dibangun di beberapa daerah, memanfaatkan jasa warga lokal untuk memasak dan mencuci peralatan makan.
“Bahan makanan seperti hasil peternakan dan pertanian akan diambil dari usaha kecil sekitar lokasi pelaksanaan program,” ungkap Iwan.
Program makan bergizi gratis direncanakan dimulai secara bertahap pada Januari 2025. Namun, sistem distribusi makanan hingga sampai ke meja pelajar masih dalam proses finalisasi. Iwan mengakui, “Kami masih menyusun mekanisme ini agar sesuai kebutuhan di lapangan.”
Menu makanan nantinya akan disesuaikan dengan ketersediaan bahan pangan di masing-masing daerah. “Tidak mungkin menu disamakan karena setiap daerah memiliki kondisi yang berbeda,” jelas Iwan.
BGN menegaskan, tahun depan ditargetkan akan dibangun sekitar 3.000 dapur umum untuk program tersebut. Hingga saat ini sudah ada 150 dapur yang berdiri. Dari jumlah itu, 100 dapur didirikan di fasilitas Komando Distrik Militer (Kodim) dan 50 dapur berdiri di fasilitas milih sekolah-sekolah berbasis agama seperti pondok pesantren.
Nantinya di tahap awal diperkirakan akan ada tiga dapur di tiap kabupaten atau kota. Tiap dapur setidaknya akan menyuplai makanan untuk seribu siswa. Di masing-masing dapur akan ada tiga staf ASN dari BGN yang tugaskan dan dibantu oleh pekerja dari warga sekitar. “Per Januari 2025 akan beroperasi 987 unit dapur (satuan pelayanan pemenuhan gizi),” ungkap Iwan.
Sumber: DetikX