DEMOCRAZY.ID - Terkait perkembangan nilai tukar (kurs) rupiah yang kembali mendekati posisi Rp16.000/US$, bukan sepenuhnya soal perkembangan eksternal seperti disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan membuka lembaran lama.
Empat hari menjelang pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumin Raka sebagai presiden dan wakil presiden, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo sesumbar kurs rupiah bakal menguat.
Tak tanggung-tanggung, Gubernur BI dua periode itu, menyebut kurs rupiah bakal menguat mendekati Rp15.000/US$, dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 16 Oktober 2024.
Dua hari kemudian, tepatnya 18 Oktober 2024, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani juga menyampaikan hal senada. Bahwa nilai tukar mata uang Garuda bakal menguat terhadap dolar AS.
"Alasannya, klasik. mereka sebut fundamental ekonomi Indonesia sangat baik. Inflasi rendah, prospek pertumbuhan ekonomi sangat baik. Karena itu, rupiah bakal menguat. Kalau terpuruk, salahkan faktor eksternal, faktor global," papar Anthony.
Alih-laih rupiah menguat. Tebakan Perry Warjiyo maupun Sri Mulyani sama-sama melesetnya.
Dalam penutupan perdagangan Jumat (6/12/2024), rupiah ditutup melemah Rp15.850/US$.
Artinya, kurs rupiah lebih dekat dengan Rp16.000 ketimbang Rp15.000 seperti janji orang nomor sati di BI itu.
"Alasan BI maupun Sri Mulyani mengenai kurs rupiah tersebut tidak tepat. Bahkan, cenderung menyesatkan, dan membodohi publik," ungkap Anthony.
Di era ekonomi yang semakin terbuka, lanjutnya, kurs rupiah ditentukan oleh transaksi internasional antara Indonesia dengan seluruh dunia (rest of the world).
Transaksi internasional, atau transaksi berjalan, mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia terhadap ekonomi dunia. Itulah penentu arah kurs rupiah yang sebenarnya.
Artinya, jika transaksi berjalan defisit, maka dolar AS yang masuk ke Indonesia lebih sedikit dibandingkan dolar AS yang keluar dari Indonesia.
Dampaknya, kebutuhan dolar AS di dalam negeri yang membuat rupiah anjlok alias babak belur. Demikian pula sebaliknya.
"Kalau defisit ini berlangsung terus-menerus, kondisi ini mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia secara struktural sangat buruk terhadap ekonomi dunia, dan mengakibatkan kurs rupiah anjlok," ungkapnya.
Sejujurnya, kata Anthony, posisi transaksi berjalan Indonesia dengan internasional, saat ini, cukup buruk. Karena itu tadi, defisitnya terjadi terus-terusan.
Terkecuali pada 2021-2022, Indonesia mendapat ‘durian runtuh’ dari lonjakan harga komoditas. Namun sejak 2023, transaksi berjalan mengalami defisit lagi.
Sepangan Januari-September 2024, kata Anthony, angka defisit transaksi berjalan mencapai US$7,9 miliar dolar AS.
Alhasil, kurs rupiah terus tertekan signifikan. Celakanya, baik BI dan Kemenkeu sepakat menambah utang luar negeri (ULN) sebagai 'obat kuat' rupiah.
"Masalahnya, ULN swasta BUMN, kurang diminati investor asing. Mungkin karena risiko finansial atau gagal bayar, cukup tinggi. Sehingga total ULN swasta BUMN cenderung turun," imbuahnya.
Untuk itu, lanjut Anthony, BI kini menjadi mesin cetak ULN baru lewat penerbitan tiga jenis surat utang, yaitu SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia), SVBI (Sertifikat Valuta Asing Bank Indonesia), SUVBI (Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia) mulai Agustus 2023.
"Peran ‘baru’ BI sebagai pencetak utang untuk intervensi kurs rupiah, sangat membahayakan sistem moneter Indonesia. Karena, kebijakan moneter bank sentral umumnya lewat kebijakan suku bunga. Kendalikan likuiditas uang beredar. Bukan menarik utang luar negeri secara ugal-ugalan," terang Anthony.
Dari catatan Anthony, nilai tukar rupiah sempat menguat cukup tajam di triwulan III-2024 dari Rp16.390/US$ pada 2 Juli 2024 menjadi Rp15.135/US$ pada 30 September 2024.
Jadi, penguatan rupiah bukan karena fundamental ekonomi Indonesia sedang sehat atau kuat. Seperti klaim bos BI dan Sri Mulyani.
Di sisi lain, kata Anthony, kuartal III-2024, ULN BI naik US$19,69 miliar atau 9,3 persen dari total ULN pemerintah dan BI di akhir Juni 2024.
ULN pemerintah naik 6,9 persen sementara BI meroket 31 persen. Sedangkan ULN BUMN turun US$310 juta.
Belakangan nilai tukar melemah lagi, mendekati Rp16.000/US$ yang berkosekuensi meroketnya ULM pemerintah dan BI.
Kalau kondisinya begini terus-terusan, tak tertutup kemungkinan rupiah anjlok ke Rp17.000 hingg Rp18.000 per dolar AS.
"Kalau fundamental ekonomi masih seperti saat ini, kurs rupiah hanya bisa bertahan dan menguat kalau pemerintah dan BI terus-menerus menggelembungkan ULN. Celakanya kalau gelembung itu pecah," pungkas Anthony.
Sumber: Inilah