'Parcok Bergerak Seperti Angin, Menggoyang Meski Tak Terlihat'
Di Pilgub Sumut, Jokowi diketahui mendukung menantunya, Bobby Nasution. Menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP Sumut, Rapidin Simbolon, Parcok tidak hanya membantu memenangkan Bobby, tapi juga secara aktif mengintimidasi pihak-pihak yang teridentifikasi mendukung Edy Rahmayadi. Rapidin mendeteksi Parcok mulai bergerak sejak tiga bulan sebelum hari pencoblosan.
Mereka bergerak di ruang senyap hingga menggunakan tangan orang lain dalam setiap tindakannya. “Ada yang tidak kelihatan, seperti angin berhembuslah. Angin berhembus, pohonnya goyang, tapi tidak kelihatan angin yang menggoyangnya,” kata Rapidin saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis, 5 Desember 2024.
Meski begitu, Rapidin menyebut pihaknya berhasil mengendus tindakan senyap Parcok. Salah satunya ketika Polisi tidak menggubris laporan yang diajukan kubu Edy atas tindakan kekerasan yang dilakukan tim pemenangan Bobby. Sampai sekarang laporan itu dibiarkan begitu saja, padahal Rapidin meyakini semua bukti sudah disertakan.
Rapidin juga mengungkapkan beberapa modus keterlibatan Parcok berdasarkan kesaksian beberapa kepala desa kepadanya. Pertama, setiap kepala desa yang teridentifikasi tidak mendukung Bobby dipanggil oleh Kasat reskrim Polres di wilayah Sumut.
Pemanggilan itu mulanya disebut akan berkaitan dengan kinerja mereka selama menjabat sebagai kepala desa. Namun, setelah sampai di kantor polisi mereka malah diintimidasi dan diarahkan untuk memenangkan Bobby.
Kepala desa yang menolak, diancam akan diungkap semua kasus hukumnya. Bagi mereka yang tidak memiliki kasus hukum, diancam akan dikasuskan. Alhasil, mau tidak mau mereka harus melaksanakan apa yang sudah diarahkan untuk memenangkan Bobby. “Mereka terancam dan mungkin sehabis Pilkada bisa saja mereka dipanggil dan benar-benar diperiksa,” ujar Rapidin.
Setelah pemanggilan itu, secara masif kepala desa bergerak membantu pemenangan Bobby dengan membantu membagikan sembako dan tindakan lainnya. Selama gelaran Pilkada, pergerakan mereka tetap diawasi aparat. Ada beberapa kepala desa yang kemudian bergerak secara diam-diam memenangkan Bobby agar tidak diketahui oleh masyarakat, ada pula yang terang-terangan melakukan deklarasi dukungan terhadap Bobby sebagaimana yang terjadi di Tapanuli Selatan.
Baca ulasan lengkapnya di Insider edisi 15 Desember 2024 Ulah Parcok Bikin Recok
Reformasi Cuma Mimpi, Kekerasan Polisi Bukti Kegagalan Institusi
Sebanyak 116 kekerasan tercatat melibatkan anggota Polri sepanjang tahun ini. Catatan itu dihimpun dalam laporan terbaru yang dirilis Amnesty International Indonesia dalam rentang waktu Januari hingga November 2024.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan temuan ini menunjukkan pola sistematis yang terus berulang akibat minimnya akuntabilitas institusi kepolisian. “Kekerasan polisi bukan hanya persoalan individu, tetapi mencerminkan kebijakan yang represif dan kegagalan institusi dalam menjalankan pendekatan humanis yang dijanjikan,” ujar Usman Hamid.
Bahkan ketika dikerucutkan kepada penanganan polisi terhadap aksi unjuk rasa, angka kekerasan yang dilakukan oleh polisi makin besar lagi. Kata Usman, dalam investigasi yang dilakukan pihaknya selama periode 3 bulan atas unjuk rasa damai yang terjadi di 14 kota pada 22 sampai 29 Agustus 2024 lalu, setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi.
Rinciannya, 344 orang mengalami penangkapan dan penahanan semena-mena, 152 orang luka-luka akibat serangan fisik, termasuk penembakan meriam air, sedikitnya 17 orang terpapar gas air mata kimia yang berbahaya serta 65 lainnya mengalami kekerasan berlapis termasuk kekerasan fisik dan penahanan incommunicado (tanpa pemberitahuan) dan seorang lagi dilaporkan sempat hilang sementara. “Seluruh kekerasan tersebut terjadi saat polisi menghadapi unjuk rasa menolak revisi UU Pilkada,” jelas dia.
Salah satu hal yang disoroti Usman adalah perlunya evaluasi dalam penggunaan senjata api. Selain kasus di Semarang, contoh penyalahgunaan senjata api lain terlihat pada kasus-kasus di Papua.
Di Yahukimo, Papua, seorang staf Badan Pengawas Pemilu ditembak mati oleh anggota Brimob saat perjalanan pulang ke rumahnya. Sementara itu, di Lampung Timur, seorang warga sipil tewas ditembak setelah dipaksa masuk ke dalam mobil polisi.
“Kami melihat pola yang berulang, terutama di Papua. Polisi sering kali memberikan pembenaran dengan alasan menghadapi kelompok bersenjata. Namun, banyak kasus kekerasan terjadi terhadap warga sipil biasa, di luar konteks konflik bersenjata,” tegas Usman.
Usman bilang, kekerasan polisi yang berulang adalah lubang hitam pelanggaran HAM. Beragam temuan kasus ini juga menunjukan bahwa lembaga Polri masih minim akuntabilitas dan menunjukan reformasi yang gagal.
“Kapolri menjanjikan pendekatan humanis, tetapi faktanya yang terjadi justru sebaliknya. Kekerasan terus berulang karena tidak ada akuntabilitas terhadap pelaku,” ujarnya.
Baca ulasan lengkapnya di Insider edisi 15 Desember 2024 Reformasi Polri Jauh dari Kata Presisi