CATATAN EKBIS POLITIK

Paradox Antara Tax Eaters dan Tax Payers: 'Menghitung Harga Seorang Wakil Presiden'

DEMOCRAZY.ID
Desember 28, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
EKBIS
POLITIK
Paradox Antara Tax Eaters dan Tax Payers: 'Menghitung Harga Seorang Wakil Presiden'


Paradox Antara Tax Eaters dan Tax Payers: 'Menghitung Harga Seorang Wakil Presiden'


Ketika membicarakan roda pemerintahan, selalu ada dua sisi penting yang menentukan keberlangsungannya: tax payers (pembayar pajak) dan tax eaters (penerima manfaat pajak). 


Kontribusi nyata para pembayar pajak terhadap keberlangsungan negara tidak bisa dipandang sebelah mata. 


Namun, di sisi lain, keberadaan para tax eaters, terutama pejabat publik, sering kali menimbulkan pertanyaan besar: apakah biaya yang dikeluarkan negara untuk mereka benar-benar sebanding dengan manfaat yang diterima oleh rakyat?


Isu ini menjadi semakin relevan ketika kita menyoroti posisi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. 


Dengan gaji besar dan fasilitas negara yang lengkap, banyak pihak mempertanyakan apakah seseorang dengan rekam jejak terbatas dalam politik dan pemerintahan pantas menempati posisi strategis yang vital bagi masa depan bangsa.


Tax Payers dan Beban yang Kian Berat

Tax payers, mulai dari pekerja kecil hingga perusahaan besar, adalah motor penggerak utama dalam pembiayaan negara. 


Setiap rupiah yang mereka bayarkan digunakan untuk pembangunan, pendidikan, kesehatan, hingga menggaji para pejabat negara. Namun, dalam praktiknya, distribusi manfaat dari uang rakyat ini sering kali dirasakan tidak adil.


Gibran, yang baru menapak karier politik di tingkat lokal, kini menduduki posisi Wakil Presiden. Dengan gaji bulanan yang mencapai ratusan juta rupiah, rumah dinas, kendaraan, hingga pengamanan 24 jam, seluruh fasilitas ini dibiayai dari kantong rakyat. 


Jika dihitung, total biaya untuk satu periode jabatan mencapai triliunan rupiah. Apakah kontribusinya terhadap bangsa benar-benar setara dengan pengeluaran sebesar itu?


Tax Eaters: Kepemimpinan atau Beban?

Sebagai tax eaters, pejabat negara diharapkan memberikan nilai tambah bagi kemajuan bangsa. Namun, jika posisi tersebut ditempati oleh individu yang kapasitasnya diragukan, maka pengeluaran negara menjadi sia-sia. 


Dalam kasus Gibran, banyak kritik muncul terkait minimnya pengalaman dan pencapaian signifikan yang bisa dijadikan tolok ukur untuk jabatan setinggi itu.


Argumen ini tidak hanya bersifat emosional, tetapi juga berdasarkan fakta. Sebagai kepala daerah, rekam jejaknya dalam memimpin Solo tidak memberikan kesan luar biasa yang layak diorbitkan ke level nasional. 


Maka, ketika dia menduduki posisi Wakil Presiden, masyarakat berhak bertanya: Apakah bangsa ini mendapatkan pemimpin atau sekadar simbol politik yang mahal?


Mahalnya Pemimpin Tanpa Kompetensi

Konsep mahal di sini bukan hanya dari segi nominal, tetapi juga peluang yang hilang. Uang rakyat yang diinvestasikan pada seorang pemimpin seharusnya memberikan dampak positif, baik dalam bentuk kebijakan yang solutif maupun keteladanan yang menginspirasi. 


Jika yang terjadi justru sebaliknya—pemimpin yang hanya menjadi beban finansial dan tidak memberikan dampak signifikan—maka rakyat punya hak untuk merasa keberatan.


Pemilihan Gibran sebagai Wakil Presiden, bagi sebagian besar publik, merupakan simbol dari kegagalan meritokrasi di Indonesia. Kriteria pemimpin tidak lagi didasarkan pada kompetensi, melainkan pada afiliasi politik dan koneksi keluarga.


Kesimpulan: Keberatan yang Berdasar


Ketimpangan antara tax payers yang memikul beban dan tax eaters yang menikmati hasil tanpa kontribusi nyata adalah paradoks yang tidak bisa terus dibiarkan. Gibran Rakabuming Raka, sebagai Wakil Presiden, adalah ilustrasi nyata dari fenomena ini.


Dalam negara demokrasi, rakyat berhak menuntut bahwa setiap rupiah yang mereka bayarkan melalui pajak digunakan secara efektif dan efisien. 


Kehadiran seorang Wakil Presiden yang terlalu mahal dari segi biaya tetapi minim kontribusi adalah ironi yang menyakitkan. 


Maka, keberatan kami terhadap fenomena ini bukan sekadar emosional, melainkan panggilan untuk menjaga keadilan bagi para pembayar pajak yang telah bekerja keras menopang negeri ini.


Saatnya kita bertanya: Berapa harga seorang pemimpin, dan apakah bangsa ini sanggup terus membayar mahal untuk kepemimpinan tanpa kualitas?


Sumber: FusilatNews

Penulis blog