DEMOCRAZY.ID - Isu netralitas aparat keamanan masih menjadi perhatian utama pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024.
Persoalan yang mengemuka adalah tudingan mengenai dugaan operasi politik buat menguntungkan kubu tertentu yang bersaing di Pilkada 2024 di beberapa daerah, melibatkan aparat keamanan.
Perangkat negara yang disebut-sebut dalam tudingan itu adalah Polri. Bahkan sejumlah politikus sampai melontarkan julukan "Partai Coklat" terkait dugaan adanya operasi politik, merujuk kepada warna seragam Polri.
Karena dugaan itu juga kembali muncul usulan supaya pemerintah mempertimbangkan lagi posisi Polri di dalam struktur negara.
Malah ada politikus yang mengusulkan supaya posisi Polri dikembalikan seperti pada masa Orde Baru, yakni di bawah TNI.
Bagaimana awal penyatuan TNI dan Polri?
Pada 1962, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) disatukan dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Penyatuan ini bertujuan menciptakan efisiensi dalam menjalankan tugas negara serta menghindarkan kedua institusi dari pengaruh kelompok politik tertentu.
Saat itu, ABRI dipimpin oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan yang merangkap Panglima Angkatan Bersenjata.
Akan tetapi, Dwifungsi ABRI yang memberi peran ganda kepada militer dan kepolisian, baik dalam bidang keamanan maupun politik, ekonomi, dan sosial, justru menimbulkan masalah.
Tumpang tindih fungsi dan wewenang sering kali menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan tugas kedua institusi.
Polri, yang seharusnya berfokus pada keamanan masyarakat, justru terlibat dalam aktivitas politik.
Begitu pula TNI, yang sering masuk dalam urusan sipil. Akibatnya, muncul kritik tajam dari berbagai kalangan yang menilai model ini tidak efektif.
Apa yang mendorong pemisahan TNI dan Polri?
Gelombang Reformasi 1998 menjadi momentum penting untuk mengakhiri Dwifungsi ABRI.
Setelah Soeharto lengser, pemisahan Polri dari ABRI menjadi bagian dari tuntutan Agenda Reformasi.
Langkah ini bertujuan menciptakan institusi yang lebih profesional, netral, dan terfokus pada tugas utamanya.
Presiden BJ Habibie mulai merespons dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999, yang mengatur langkah-langkah awal pemisahan Polri dari ABRI. Namun, proses ini tidak selesai pada masa pemerintahannya yang singkat.
Langkah signifikan baru terjadi pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada 18 Agustus 2000, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengesahkan Tap MPR Nomor VI/MPR/2000.
Ketetapan ini menegaskan peran TNI sebagai institusi yang bertanggung jawab atas pertahanan negara, sedangkan Polri berfokus pada keamanan dan ketertiban masyarakat. Ketetapan ini ditandatangani oleh Ketua MPR Amien Rais beserta para wakil ketua.
Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2000 kemudian mempertegas posisi Polri di bawah presiden.
Pemisahan ini semakin diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pada 2004, Undang-Undang tentang TNI melengkapi kerangka hukum reformasi kelembagaan ini.
Ramai tuduhan "Partai Coklat"
Dua dekade setelah pemisahan, Polri kembali menjadi sorotan publik dalam Pilkada Serentak 2024.
Istilah "partai coklat," yang diduga merujuk pada Polri, mencuat setelah Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menyampaikan kekhawatirannya terkait dugaan keterlibatan aparat kepolisian dalam pemilu.
"Kami mewaspadai pergerakan partai coklat di beberapa wilayah, seperti Jawa Timur dan Sumatera Utara," kata Hasto di kediaman Megawati Soekarnoputri di Ciganjur, Jakarta Selatan, Rabu (27/11/2024) lalu.
Tudingan tersebut menimbulkan kontroversi besar. Polri diduga terlibat dalam pengerahan aparat untuk memengaruhi hasil pemilu di beberapa wilayah. Namun, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menilai isu ini tidak berdasar.
"Apa yang disampaikan hanya kabar bohong," kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Jumat (29/11/2024).
Ia juga mengungkap adanya anggota DPR yang dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena menyebarkan tuduhan tersebut.
"Prosedurnya, anggota yang dilaporkan akan dipanggil untuk dimintai keterangan. Jika tidak bisa membuktikan tuduhannya, tentu ada konsekuensinya," ujar Habiburokhman.
Usulan perubahan posisi Polri
Di tengah kontroversi "partai coklat," Ketua DPP PDI-P Deddy Yevri Sitorus mengusulkan supaya Polri kembali berada di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Menurutnya, langkah ini diperlukan untuk mengurangi risiko politisasi Polri.
"Kami sedang mendalami kemungkinan agar Polri kembali di bawah kendali Panglima TNI atau Kemendagri," kata Deddy dalam jumpa pers, Kamis (28/11/2024).
Namun, usulan ini menuai pro dan kontra. Pemisahan TNI-Polri yang dilakukan setelah Reformasi bertujuan memastikan profesionalisme kedua institusi.
Mengembalikan Polri ke TNI atau Kemendagri berisiko mengembalikan pola otoritarian yang sudah dihapus sejak Reformasi.
Padahal, pemisahan TNI dan Polri dirancang untuk menciptakan institusi keamanan yang profesional dan independen dari kepentingan politik.
Namun, tuduhan semacam itu menunjukkan masih adanya problem dalam menerapkan amanat reformasi secara menyeluruh.
Sumber: Kompas