'Mengapa Harus Naikkan PPN 12% – Kegagalan Pemerintahan Jokowi?'
Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.
Langkah ini menimbulkan banyak pertanyaan: Apakah kenaikan ini memang perlu?
Ataukah ini hanya cerminan dari kegagalan pengelolaan ekonomi selama dua periode pemerintahan Presiden Jokowi? Jika kinerja pemerintah benar-benar baik, seharusnya kebijakan pajak dapat lebih ringan, seperti yang terjadi di Vietnam dengan PPN hanya 8%.
Kinerja Ekonomi yang Dipertanyakan
Dalam dua periode pemerintahan Jokowi, ekonomi Indonesia tidak menunjukkan pertumbuhan signifikan.
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) cenderung stagnan, bahkan tertekan oleh pandemi Covid-19. Namun, pandemi bukan alasan utama.
Masalah fundamental seperti tingginya tingkat korupsi, lemahnya target ekspor, hingga hilangnya penerimaan dari sektor hasil bumi menunjukkan pengelolaan ekonomi yang kurang maksimal.
Korupsi tetap menjadi momok besar. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia cenderung stagnan atau menurun, menggambarkan minimnya keberhasilan dalam reformasi birokrasi.
Kasus-kasus besar seperti Jiwasraya dan Asabri memperlihatkan betapa rentannya pengelolaan negara terhadap korupsi struktural.
Sementara itu, sektor ekspor gagal mencapai target, terutama di komoditas unggulan seperti kelapa sawit dan batu bara, yang seharusnya menjadi penopang utama perekonomian.
Defisit Anggaran yang Membengkak
Defisit APBN mencapai sekitar 2,5% hingga 3% dari PDB. Dengan belanja negara yang terus meningkat tanpa diimbangi oleh penerimaan pajak dan non-pajak yang memadai, utang luar negeri menjadi solusi utama.
Namun, pinjaman luar negeri hanya menambah beban generasi mendatang, menciptakan lingkaran setan utang yang sulit diatasi.
Kenaikan PPN menjadi langkah instan untuk menutupi defisit ini. Namun, kebijakan ini tidak menyasar akar masalah: ketidakmampuan pemerintah mengelola sumber daya negara.
Pada era kolonial, Indonesia dikenal sebagai pusat rempah-rempah dunia. Ironisnya, kini kita menjadi negara pengimpor utama garam, jagung, bahkan beras.
Hilangnya kedaulatan pangan ini memperlihatkan betapa lemahnya pengelolaan sektor agraria dan industri dalam negeri.
Belanja Negara yang Tidak Efisien
Anggaran yang besar sering kali tidak digunakan secara efektif. Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru, misalnya, menyedot anggaran hingga ratusan triliun rupiah.
Sementara itu, sektor pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan justru tidak mendapatkan perhatian yang memadai.
Apa Alternatifnya?
Sebuah pemerintahan yang efisien tidak perlu membebani rakyat dengan pajak tinggi. Negara-negara seperti Vietnam berhasil menarik investor melalui insentif pajak rendah, reformasi birokrasi, dan efisiensi anggaran.
Dengan PPN hanya 8%, Vietnam mampu menarik perusahaan multinasional dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang jauh lebih besar. Jika tata kelola ekonomi diperbaiki, kebocoran anggaran diatasi, dan penerimaan dari sektor strategis dimaksimalkan, maka tidak perlu menaikkan PPN hingga 12%.
Kesimpulan
Kenaikan PPN menjadi 12% adalah cerminan dari kegagalan manajemen ekonomi selama era Jokowi. Alih-alih mencari solusi jangka panjang seperti reformasi struktural dan efisiensi belanja negara, pemerintah memilih solusi cepat yang membebani rakyat.
Kebijakan ini memperlihatkan kurangnya visi dalam menciptakan ekonomi yang mandiri dan berkeadilan.
Jika kinerja pemerintah selama dua periode ini benar-benar baik, bukannya pajak naik, PPN seharusnya bisa diturunkan—seperti di Vietnam.
Sumber: FusilatNews