Maruarar Sirait, Orang Dekat Jokowi-Aguan, Harus Diproses Hukum!
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Dalam asas hukum pidana, penegakan hukum tidak mengenal sudut pandang subjektif, pangkat, martabat, atau garis keturunan.
Penegakan hukum harus berdasarkan perbuatan yang dilakukan dan ketentuan hukum yang dilanggar (asas legalitas).
Prinsip ini menjamin objektivitas, dengan konsep dasar bahwa semua orang sama di hadapan hukum (equality before the law).
Dalam sebuah tayangan video di YouTube yang bersumber dari narasi Panda Nababan, terdapat informasi menarik.
Video tersebut menyebutkan bahwa rumah Maruarar Sirait (Ara) di Jalan Diponegoro senilai Rp100 miliar dibeli dengan bantuan seorang pengusaha.
Dari hasil penelusuran lebih lanjut, muncul dugaan bahwa pemberi hibah adalah Aguan, pengembang PIK 2, yang saat ini menjadi sorotan di Banten dan Jakarta.
Agar asumsi publik tidak berkembang menjadi kesalahpahaman atau fitnah, informasi dari Panda Nababan yang memiliki bobot dan kredibilitas tinggi harus segera diinvestigasi oleh penyidik KPK atau Kejaksaan Agung. Investigasi tersebut perlu menjawab beberapa pertanyaan utama:
Apakah saat menerima hibah tersebut, Ara menjabat sebagai anggota DPR RI (periode 2004-2009, 2009-2014, atau 2014-2019)?
Apakah hibah tersebut diterima saat Ara sudah tidak menjadi anggota DPR RI atau ketika menjabat Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman?
Jika terbukti bahwa Ara menerima gratifikasi saat menjabat sebagai penyelenggara negara, maka ia dapat diduga kuat melakukan pelanggaran hukum berupa suap (gratifikasi).
Hubungan antara posisi Ara sebagai anggota legislatif atau eksekutif dengan Aguan sebagai pemberi gratifikasi harus ditelusuri lebih lanjut.
Sebagai informasi, gratifikasi termasuk dalam delik pidana formil yang pelanggarannya terjadi sejak adanya perbuatan pemberian barang atau uang kepada penyelenggara negara.
Pelanggaran ini tidak memerlukan bukti kerugian keuangan negara secara langsung, namun cukup adanya kaitan dengan jabatan publik, yang dapat memicu praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Penyidik harus segera memanggil Panda Nababan dan Aguan untuk dimintai keterangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 12B dan 12C UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Panda Nababan, sebagai pengungkap informasi, juga dapat diminta kesaksian sebagai saksi a charge (memberatkan) tanpa risiko dituduh melakukan fitnah.
Jika penyelidikan menemukan dua alat bukti yang cukup, Ara sebagai penerima gratifikasi dan Aguan sebagai pemberi gratifikasi harus segera ditetapkan sebagai tersangka.
Setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht), Panda Nababan layak mendapat penghargaan dari KPK atau Kejaksaan Agung atas perannya dalam memberantas korupsi, sesuai dengan PP No. 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ***