DEMOCRAZY.ID - Mantan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengungkap, pelaksanaan pemilu tidak langsung atau lewat DPRD yang pernah terjadi di Indonesia, berlangsung curang dan mahal.
Praktik jual beli kursi demi meraup dukungan nyata terjadi, ketika kepala daerah masih dipilih oleh DPRD di era sebelum Reformasi.
Sebab, untuk dapat dicalonkan, seseorang tidak cukup hanya mengantongi dukungan partai politik, tetapi juga anggota dewan.
"Saudara masih ingat, sejak tahun 99, di mana pemilu belum serentak, pilkada belum serentak, lewat DPRD, itu jelas di situ jual beli kursi, agar orang bisa dapat dukungan, harga suara di DPRD (per kursinya) sebesar sekian," kata Mahfud dalam diskusi bertajuk "Plus Minus Pilkada Oleh DPRD", Senin (23/12/2024) malam.
"Misalnya ada satu calon kuat di satu daerah, mendapat dukungan partai, tapi kurang dukungan dari DPRD untuk bisa menang. Lalu beli ke orang, 'kurang berapa sih kursinya?'. 'Kurang empat'. Empat, Rp 20 miliar dibayar. Satu kursi bisa Rp 5 miliar," imbuh dia.
Hal ini yang kemudian memunculkan fenomena diborongnya kursi DPRD oleh partai politik.
Menurut Mahfud, semua partai melakukan praktik tersebut pada masa lampau.
"Semua partai. Bahkan dari PKS pun yang nerima uang saya tahu, karena lapor yang membayar itu, yang katanya bersih itu, sama pada saat itu. Pikirannya pokoknya uang," katanya.
Meski pemilu sebelum Reformasi mahal, mantan Calon Wakil Presiden RI itu menyebutkan, bukan berarti pemilu pada saat ini lebih murah.
Praktik jual beli suara, kata dia, masih terjadi. Bedanya, calon sekarang membeli langsung suara tersebut dari masyarakat atau "diecer".
"Maka lalu kita marah waktu itu, 'kalau gitu kita lewat pilihan langsung'. Sesudah pilihan langsung, tambah jelek. Kenapa? Karena kalau di dalam pilihan lewat DPRD itu belinya... Kalau yang sekarang ini kan eceran, pakai amplop-amplop gitu ke rakyat. Mahal sekali sekarang. Mahal banget," imbuh Mahfud.
Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto membandingkan sistem politik Indonesia dengan negara tetangga, di mana negara seperti Malaysia, Singapura, dan India jauh lebih efisien pemilihannya.
Menurutnya, negara tetangga hanya melaksanakan pemilihan sebanyak satu kali, yakni untuk anggota DPRD-nya saja. Selebihnya, DPRD lah yang memilih bupati hingga gubernur.
Prabowo lantas membandingkan dengan sistem pemilihan di Indonesia yang bisa menghabiskan anggaran triliunan rupiah dalam 1-2 hari saja.
Hal tersebut Prabowo sampaikan saat menghadiri HUT Golkar di Sentul, Kamis (12/12/2024) malam.
"Ketum Partai Golkar salah satu partai besar, tapi menyampaikan perlu ada pemikiran memperbaiki sistem partai politik. Apalagi ada Mbak Puan kawan-kawan dari PDI-P, kawan-kawan partai lain, mari kita berpikir, mari kita tanya, apa sistem ini, berapa puluh triliun habis dalam 1-2 hari. Dari negara maupun dari tokoh politik masing-masing," ujar Prabowo.
"Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itu lah yang milih gubernur, yang milih bupati," sambungnya.
Prabowo mengatakan, sistem seperti di negara tetangga itu jauh lebih hemat ketimbang pemilihan di Indonesia.
Padahal, uang yang dikeluarkan untuk pemilihan bisa dimanfaatkan untuk makanan anak-anak, perbaikan sekolah, hingga perbaikan irigasi.
"Ini sebetulnya begitu banyak ketum partai di sini sebenarnya bisa kita putuskan malam hari ini juga, gimana?" tanya Prabowo disambut tawa.
Sumber: Kompas