DEMOCRAZY.ID - Pengamat politik Rocky Gerung, menyoroti keterkaitan kasus hukum yang menimpa Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, dengan agenda politik yang diduga diarahkan oleh Presiden RI ke-7, Joko Widodo atau Jokowi.
Sebelumnya, dari informasi yang dihimpun, Selasa (24/12/2024), Hasto Kristiyanto dikabarkan resmi ditetapkan sebagai tersangka setelah diterbitkannya surat perintah penyidikan bernomor Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024.
“Hasto, orang nomor dua di PDIP itu dinyatakan sebagai tersangka. Kita membayangkan bagaimana Prabowo harus mengatasi dinamika ini. Ada kesulitan ekonomi dan kepentingan politik yang menghendaki supaya yang disebut Ibu Mega kongres nanti itu gagal atau dikuasai oleh pihak luar,” ujar Rocky Gerung dalam unggahan video di akun Youtube Rocky Gerung Official Selasa (24/12/2024).
Rocky mengungkapkan, bahwa dalam benak publik, ada persepsi bahwa Jokowi berambisi untuk mengintervensi partai-partai politik, termasuk PDIP.
"Kan merampok Demokrat aja pada waktu itu gagal, apalagi merampok PDIP," kata Rocky.
Ia juga menyinggung ambisi Jokowi untuk memperkuat dinasti politiknya melalui putranya, Gibran Rakabuming.
Menurut Rocky, langkah politik Jokowi ini dapat memicu ketegangan yang lebih besar, terutama di tahun depan.
"Jokowi punya keinginan yang kuat supaya tidak ada yang mengganggu niat atau ambisi beliau untuk meneruskan dinastinya. Social unrest pasti akan tumbuh, disparitas akan menyebabkan juga ketegangan politik melebar ke mana-mana," bebernya.
Di sisi lain, Rocky menyoroti posisi Prabowo yang dinilai terlalu permisif terhadap tekanan politik Jokowi.
“Sementara publik menganggap bahwa Pak Prabowo terlalu dekat atau bahkan, dalam tanda petik, terlalu patuh pada sinyal dari Pak Jokowi,” tambahnya.
Rocky juga mengritik proses hukum terhadap Hasto yang dinilai mencurigakan.
"Kenapa enggak dari dulu aja Hasto yang diprosesi di KPK? Orang tetap melihat bahwa KPK menjalankan semacam agenda politik dari Jokowi," katanya.
Dinamika politik yang melibatkan Jokowi, PDIP, dan Prabowo ini, menurut Rocky, adalah kompleksitas yang akan stabilitas politik nasional ke depannya.
“Apa yang diputuskan bisa berbeda dengan apa yang kemudian dikerjakan. Jarak antara election dan decision itu yang menentukan kondisi politik,” pungkasnya.
Sumber: Suara