CATATAN POLITIK

Kolaborasi Destruktif: 'Kemunafikan Berbalut Kemesraan di Era Jokowi dan PDIP'

DEMOCRAZY.ID
Desember 28, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Kolaborasi Destruktif: 'Kemunafikan Berbalut Kemesraan di Era Jokowi dan PDIP'


Kolaborasi Destruktif: 'Kemunafikan Berbalut Kemesraan di Era Jokowi dan PDIP'


Sejarah perpolitikan Indonesia mencatat dinamika kekuasaan yang sering kali berlandaskan kepentingan kelompok dan keluarga. 


Selama dua dekade terakhir, pemerintahan Jokowi bersama PDIP di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, menjadi contoh nyata dari fenomena ini. 


Kolaborasi mereka, yang seharusnya membawa kemajuan bagi bangsa, justru memperlihatkan wajah asli dari apa yang bisa disebut sebagai “kemunafikan berbalut kemesraan”. 


Hubungan yang terlihat erat dan bersahabat ini menyimpan paradoks, yakni saling memperkuat watak destruktif yang membawa dampak negatif bagi tatanan politik dan sosial Indonesia.


Nepotisme yang Terstruktur

Salah satu ciri utama dari kolaborasi ini adalah praktik nepotisme yang semakin mengakar. Keberadaan anak dan menantu Jokowi dalam posisi strategis politik memperlihatkan upaya untuk menciptakan oligarki baru di bawah bayang-bayang PDIP. 


Apa yang seharusnya menjadi kepemimpinan berbasis meritokrasi malah berubah menjadi dominasi keluarga dan kroni. 


Dalam istilah politik, ini adalah bentuk “patrimonialisme modern”, di mana loyalitas kepada pemimpin lebih diutamakan dibandingkan kemampuan dan kompetensi individu.


Hegemoni Kekuasaan PDIP

Di sisi lain, PDIP menggunakan momentum kekuasaan Jokowi untuk semakin mengukuhkan dirinya sebagai penguasa tunggal dalam arena politik nasional. 


Partai ini memanfaatkan “mesin negara” untuk melanggengkan kekuasaan, dengan strategi “co-optation”, yakni mengintegrasikan oposisi atau pihak netral ke dalam lingkaran pengaruh mereka. 


Hasilnya, demokrasi yang seharusnya dinamis dan kompetitif berubah menjadi permainan monopoli kekuasaan yang hanya menguntungkan segelintir elit.


Retorika Tanpa Implementasi

Kemunafikan berbalut kemesraan juga tercermin dari retorika politik yang jauh dari realitas. Janji-janji reformasi agraria, pembangunan ekonomi yang inklusif, hingga penegakan hukum, kerap menjadi slogan tanpa substansi. 


Dalam politik, fenomena ini dikenal sebagai “symbolic politics” atau politik simbolik, di mana aksi nyata digantikan oleh narasi yang hanya bertujuan menjaga citra.


Politik Beracun dan Dampaknya

Kolaborasi destruktif antara Jokowi dan PDIP telah menciptakan iklim politik yang bisa disebut sebagai “political toxicity”. 


Kebijakan yang dihasilkan sering kali sarat dengan konflik kepentingan dan minim keberpihakan pada rakyat. 


Akibatnya, muncul krisis kepercayaan terhadap institusi politik, yang mengarah pada apa yang disebut “democratic backsliding”, yaitu kemunduran demokrasi secara sistemik.


Kesimpulan


Selama dua dekade terakhir, kolaborasi antara Jokowi dan PDIP telah membawa lebih banyak masalah daripada solusi. 


Alih-alih menjadi lokomotif perubahan, mereka justru menunjukkan wajah kemunafikan dan sifat oportunistik yang memperburuk tatanan politik Indonesia. 


Dengan watak destruktif yang saling memperkuat, kemesraan antara keduanya lebih mirip sebagai “persahabatan beracun” yang meninggalkan jejak panjang masalah bagi bangsa ini. Jika tidak segera diakhiri, demokrasi Indonesia berisiko kehilangan makna sejatinya.


Sumber: FusilatNews

Penulis blog