DEMOCRAZY.ID - Salah satu yang dikenang dari almarhum Jenderal TNI Purn Andi Muhammad Jusuf Amir atau Jenderal Jusuf adalah kebiasaannya mendatangi barak prajurit dan memerhatikan kesejahteraan anak buahnya.
Jenderal Jusuf juga hidup sederhana, walau dia beberapa kali menduduki jabatan strategis hingga panglima tertinggi di ABRI.
Jenderal Jusuf jadi salah satu sosok yang tak pernah bermain golf bersama para pejabat lainnya.
Kisahnya cukup melegenda kala itu. Pangdam XIV Hasanuddin, M Jusuf itu ditarik ke kabinet sebagai Menteri Perindustrian Ringan oleh Presiden Soekarno.
Setelah itu Menteri Perindustrian Dasar dan Menteri Perdagangan. Karier itu berlanjut saat Soeharto naik takhta.
Pasca-Gerakan 30 September 1965, Jenderal Jusuf bersama Jenderal Basuki Rahmat dan Jenderal Amir Machmud mendatangi Sukarno dan mendesaknya untuk mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Surat itulah yang menjadi legitimasi Soeharto menggantikan Sukarno.
Di bawah pemerintahan Soeharto, Jenderal Jusuf yang punya nama lengkap Andi Muhammad Jusuf Amir bertahan sebagai Menteri Perindustrian hingga 1978.
Sementara Basuki dijadikan Menteri Dalam Negeri sejak 1966 sampai meninggal dunia pada 8 Januari 1969.
Posisinya kemudian diisi Amir Machmud. Jenderal Jusuf kembali dikaryakan menjadi Menteri Perindustrian, tepatnya pada 6 Juni 1968.
Atas dasar itu banyak orang tak menyangka ketika Soeharto mengumumkannya sebagai Panglima ABRI/Menhankam menggantikan Jenderal Maraden Panggabean.
Jenderal Jusuf ditunjuk Presiden Soeharto menjadi Panglima ABRI pada Maret 1978 mengejutkan banyak kalangan.
Bukan apa-apa, Jenderal Jusuf telah 13 tahun tak berdinas di militer.
“Dibanding Maraden Panggabean yang digantikan, dia (Jusuf) kalah lengkap karier militernya terutama di bidang staf dan teritorial. Tetapi siapa yang berani melawan kehendak Soeharto?,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam buku Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit.
Dalam perjalanannya, Jenderal Jusuf dikenal sebagai orang dekat Presiden Soeharto.
Sekalipun begitu, David Jenkins dalam tulisannya Soeharto & Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983 menggambarkan Jenderal Jusuf masih sebagai ‘jenderal lingkaran luar Soeharto’.
Popularitas Jenderal Jusuf sebagai orang nomor satu di ABRI melesat cepat.
Dia dianggap bisa menerjemahkan tugas yang diberikan langsung oleh Soeharto yakni manunggal dengan rakyat.
Tak hanya itu, mantan ajudan Kahar Muzakkar ini juga dikenal sangat dekat dengan prajurit. Popularitas itu ternyata memiliki dampak.
Lantaran terlalu sukses, jaringan intelijen Soeharto yang dimotori Letjen Leonardus Benyamin Moerdani memasok informasi ke Istana.
Jenderal Jusuf dinilai memiliki ‘ambisi politik’. Muncullah informasi intelijen yang menyebut niat Jenderal Jusuf menggalang kekuatan internal untuk menjadi presiden.
Ini terbaca dari seringnya dia mengunjungi barak-barak prajurit, serta perhatiannya yang besar terhadap kesejahteraan dan perlengkapan pasukan.
“Diduga, Jenderal Jusuf sedang melakukan penggalangan kekuatan—persis yang dilakukan Jenderal Sumitro sebelum peristiwa Malari meletus. Bedanya, Sumitro berorasi di kampus-kampus,” tulis A Pambudi dalam buku Sintong & Prabowo: Dari ‘Kudeta LB Moerdani’ sampai ‘Kudeta Prabowo.
Kasak-kusuk makin kencang. Jenderal Jusuf bahkan dirumorkan memberikan kenaikan pangkat langsung di lapangan bagi prajurit berprestasi demi mengerek popularitasnya. Soeharto tak diam mendengar isu tersebut.
Pada suatu malam, kata Atmadji, Soeharto mengumpulkan sejumlah pejabat tinggi di Jalan Cendana, kediamannya.
Pertemuan ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah kenegaraan.
Mereka yang dipanggil menghadap antara lain Mensesneg Soedharmono, Sekkab Moerdiono, Asintel Hankam Letjen Benny Moerdani, Mendagri Amir Machmud dan Jusuf.
Dalam pertemuan itu Amir Machmud membuka suara tentang adanya suara-suara mengenai kopopuleran Jusuf.
Diungkit pula tentang isu ambisi politiknya. Dengan demikian, hal itu perlu ditanyakan langsung kepada yang bersangkutan. Tiba-tiba Jenderal Jusuf menggebrak meja dengan tangannya.
“Bohong! Itu tidak benar semua!,” kata dia dengan suara keras.
“Saya ini diminta untuk jadi Menhankam/Pangab karena perintah Bapak Presiden. Saya ini orang Bugis. Jadi saya sendiri tidak tahu arti kemanunggalan yang Bahasa Jawa itu. Tapi saya laksanakan perintah itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa!”.
Dalam rapat tersebut, Jenderal Jusuf pun membela diri dengan mengatakan bahwa dia hanya mencoba menjalan perintah sebaik-baiknya.
Murka Jenderal Jusuf membuat semua orang yang hadir di ruangan kaget. Mereka terdiam.
Belum pernah ada orang yang berani menggebrak meja di hadapan Presiden Soeharto. Pak Harto yang lantas memecah kekakuan itu.
Dengan nada dalam, The Smilling General itu menyudahi rapat.
“Sudah, sudah! Karena suasana tidak memungkinkan lagi, rapat kita akhiri sampai sekian saja,” ujarnya.
Menurut Atmadji, peristiwa gebrak meja di hadapan presiden itu menjadi titik terendah hubungan mereka berdua.
Jenderal Jusuf tidak pernah mau menghadiri rapat kabinet di Gedung Binagraha setelah itu.
Pada Januari 1983 Soeharto memberitahu Jenderal Jusuf bahwa akhir jabatan Pangab akan berakhir pada April.
Dia sekaligus memberitahu telah menyiapkan pengganti. Sosok tersebut tak lain Benny Moerdani. Jenderal Jusuf tak terkejut dengan pemberitahuan itu.
Dia juga menolak saat ditawari tetap di kabinet sebagai Menhankam.
Sejak itu, tulis Atmadji, Menhankam/Pangab Jenderal M Jusuf tak pernah mau menghadiri rapat kabinet di Bina Graha.
Dia selalu mengutus Wakil Pangab dan Panglima Kopkamtib, Laksamana Sudomo. Terhadap Jenderal Jusuf, Soeharto terkesan menaruh hormat tersendiri.
Dia juga seolah tak berkutik ketika sejumlah jenderal pilihannya dicopot Jenderal Jusuf.
Meski hubungan dengan Soeharto menjadi dingin, Jenderal Jusuf tetap mengisi jabatan strategis di pemerintahan.
Pada tahun 1983, Soeharto menggeser posisinya menjadi Kepala Badan Pemeriksan Keuangan hingga tahun 1993.
Sebagai Ketua Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selepas menjadi Menhankam/Pangab, Jusuf pun masih mendapatkan perhatian tersendiri dari Soeharto.
Ketika pada suatu malam dia ingin menghadap Soeharto, oleh ajudan Kolonel Wiranto dijadwalkan di waktu lain karena malam itu Presiden sudah ada agenda dengan Panglima ABRI dan para Kepala Staf.
"He Wiranto, kau sampaikan saja kepada Presidenmu bahwa Pak Jusuf mau menghadap malam ini...."
Soeharto yang menerima laporan tersebut sambil tertawa berujar, "Kalau Pak Jusuf yang minta berarti pasti itu penting. Biar Panglima menunggu setelah acara saya dengan Pak Jusuf selesai."
Setelah tidak menjabat sebagai Kepala BPK, Jenderal Jusuf memilih pulang kampung ke Makassar.
Jenderal Jusuf pun menghembuskan nafas terakhirnya di kampung halamannya, Makassar, 8 September 2004 pada usia 76 tahun.
Cerita Jenderal Jusuf gebrak meja saat rapat kabinet di hadapan Presiden Soeharto juga pernah ditulis oleh pengamat militer almarhum Salim Said dalam buku 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Ketokohan Jenderal Jusuf akan dibahas dalam Seminar Internasional Prinsip dan Karakter Bugis-Makassar 4 Ethos 4 Jusuf.
Seminar ini akan jadi satu dari 34 event di rangkaian Dies Natalis ke-68 Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Senin (2/9/2024) mendatang.
Sumber: Tribun