Kepemimpinan Jokowi: 'Antara Otoritarianisme, Nepotisme, dan Pelanggaran Konstitusi'
Kepemimpinan Joko Widodo, atau Jokowi, telah menorehkan jejak kontroversial di panggung politik Indonesia.
Dalam era pemerintahannya, banyak pihak menilai bahwa Jokowi mengedepankan gaya kepemimpinan yang otoriter, penuh manipulasi hukum, dan sarat nepotisme.
Salah satu bukti paling nyata adalah perubahan aturan konstitusi yang terkesan dipaksakan untuk mengakomodasi kepentingan keluarganya, terutama dalam konteks politik Pemilu 2024.
Putusan Mahkamah Konstitusi dan Jalan Gibran Menuju Kekuasaan
Salah satu momen paling krusial yang memperlihatkan pengaruh Jokowi dalam merombak tatanan demokrasi adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90.
Putusan ini mengubah syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden dari 40 tahun menjadi mencakup individu yang “pernah atau sedang menduduki jabatan melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.”
Perubahan ini membuka jalan bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang baru berusia 36 tahun, untuk maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Langkah ini memunculkan pertanyaan serius tentang integritas dan independensi lembaga hukum di bawah pemerintahan Jokowi.
MK, sebagai penjaga konstitusi, seharusnya menjadi benteng terakhir dalam melindungi aturan hukum.
Namun, dalam kasus ini, putusannya menimbulkan persepsi bahwa lembaga tersebut tunduk pada tekanan politik demi mengakomodasi agenda pribadi penguasa.
Nepotisme dalam Panggung Politik
Keputusan Gibran untuk maju mendampingi Prabowo semakin memperkuat dugaan nepotisme dalam pemerintahan Jokowi.
Fenomena ini mengkhianati janji awal Jokowi sebagai pemimpin yang bersahaja dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Sebaliknya, kini terlihat upaya untuk menjadikan kekuasaan sebagai alat memperluas dominasi keluarga dan jaringan politiknya.
Dalam sistem politik demokrasi yang sehat, meritokrasi dan kompetensi harus menjadi landasan utama.
Namun, naiknya Gibran ke panggung kekuasaan, meskipun memenuhi syarat secara formal, menunjukkan bahwa koneksi politik dan pengaruh keluarga masih menjadi faktor dominan.
PDI Perjuangan dan Ketahanan Politik
Di sisi lain, ketahanan PDI Perjuangan juga menjadi sorotan dalam Pemilu 2024.
Dalam disertasinya, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyoroti tantangan yang dihadapi partai tersebut setelah putusan MK Nomor 90.
PDI Perjuangan, yang selama ini menjadi pendukung utama Jokowi, mendapati diri mereka harus bersaing dengan kekuatan baru yang diusung oleh Prabowo-Gibran.
Namun, di balik analisis akademis Hasto mengenai ketahanan partai, tak dapat dipungkiri bahwa posisi partai berlambang banteng ini melemah akibat dinamika politik yang penuh konflik internal dan strategi yang terkesan terbelah.
Otoritarianisme yang Terselubung
Kritik terhadap gaya kepemimpinan Jokowi juga tidak lepas dari isu otoritarianisme.
Dalam upaya mempertahankan kekuasaan, berbagai kebijakan strategis dan penunjukan politik diwarnai oleh sikap yang mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.
Penggunaan institusi negara untuk memperkuat kontrol dan mengeliminasi oposisi menjadi pola yang semakin mencolok dalam pemerintahannya.
Menutup Catatan Era Jokowi
Dengan pelantikan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden periode 2024-2029, pemerintahan Jokowi akan berakhir dengan warisan yang penuh paradoks.
Di satu sisi, ada pencapaian infrastruktur yang sering digembar-gemborkan, tetapi di sisi lain, ada luka dalam tatanan demokrasi akibat nepotisme, pelanggaran hukum, dan gaya kepemimpinan yang jauh dari ideal.
Ke depan, bangsa ini perlu merenungkan bagaimana mencegah pengulangan sejarah serupa.
Demokrasi bukan hanya soal prosedur pemilu, melainkan juga penguatan institusi, penghormatan terhadap hukum, dan keberanian untuk menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan keluarga atau golongan.
Sumber: FusilaNews