Kembali ke DPRD: 'Solusi Prabowo atau Strategi Mematikan Demokrasi?'
Prabowo Subianto, seorang tokoh politik yang dikenal dengan pemikirannya yang kontroversial, mengusulkan agar kepala daerah—gubernur, bupati, dan wali kota—dipilih kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Alasan yang diungkapkan cukup sederhana: tingginya biaya politik. Namun, di balik narasi ini, terselip pertanyaan besar tentang esensi demokrasi dan permainan kekuasaan di balik layar.
Politik Biaya Tinggi: Realitas yang Tak Terhindarkan
Mencalonkan diri sebagai pemimpin di negeri ini tidaklah murah. Kampanye, tim sukses, logistik, hingga dana “pengondisian” membutuhkan biaya besar.
Lebih dari itu, partai politik sering kali meminta “mahar politik” kepada kandidat yang ingin maju melalui dukungan mereka.
Fenomena ini bukan sekadar dugaan; banyak pengamat politik dan pelaku di lapangan telah mengakui bahwa praktik ini menjadi rahasia umum.
Sekjen partai biasanya menjadi kunci dalam pengelolaan dana ini, memastikan aliran uang berjalan sesuai dengan kebutuhan partai, baik untuk operasional maupun untuk menopang agenda tertentu.
Bukan hanya Hasto Kristiyanto, sekjen PDI Perjuangan, yang kerap dituding, tetapi hampir semua partai politik di Indonesia menjalankan pola yang serupa.
Praktik ini menciptakan oligarki dalam tubuh partai politik, di mana mereka yang mampu menyuntikkan dana besar memiliki peluang lebih besar untuk menduduki posisi strategis.
Partai sebagai Alat Pribadi
Bagi mereka yang memiliki kekuatan finansial atau pengaruh besar, mendirikan partai sendiri menjadi alternatif.
Contoh nyata adalah Gerindra yang didirikan oleh Prabowo Subianto, Nasdem oleh Surya Paloh, Hanura oleh Wiranto, dan Partai Bulan Bintang (PBB) oleh Yusril Ihza Mahendra.
Uniknya, pendirian partai-partai ini sering kali dilandasi bukan pada idealisme politik yang kuat, tetapi lebih kepada keinginan untuk menjadikannya sebagai kendaraan pribadi.
Partai seperti PBB, misalnya, lebih sering diasosiasikan dengan karir politik Yusril ketimbang dengan perjuangan ideologi Islam.
Hal serupa terjadi pada partai-partai lain yang didirikan oleh tokoh dengan modal besar atau jaringan kuat. Hasilnya adalah demokrasi yang semakin terkikis oleh kepentingan pribadi dan kelompok kecil.
Usulan Prabowo: Solusi atau Manipulasi?
Mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD memang terdengar seperti solusi untuk menekan biaya politik.
Namun, apakah itu benar-benar langkah maju? Atau justru sebuah kemunduran yang berpotensi menggerus prinsip-prinsip demokrasi?
Jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka kepala daerah hanya akan bertanggung jawab kepada segelintir orang, yakni anggota DPRD, bukan kepada rakyat secara langsung.
Hal ini membuka ruang lebih besar bagi negosiasi transaksional antara calon kepala daerah dan para anggota DPRD.
Dengan kata lain, masalah mahar politik dan biaya tinggi hanya akan berpindah dari ranah pemilu langsung ke ruang lobi-lobi politik.
Menyoal Masa Depan Demokrasi
Penting untuk diingat bahwa sistem pemilu langsung diperkenalkan sebagai jawaban atas sentralisasi kekuasaan di masa lalu.
Sistem ini memberi rakyat kekuatan untuk menentukan pemimpin mereka, bukan sekadar menyerahkan keputusan kepada segelintir elit politik.
Namun, dengan segala kekurangan yang ada, demokrasi langsung tetap lebih mencerminkan kehendak rakyat dibandingkan dengan model yang mengandalkan DPRD.
Jika biaya politik dianggap sebagai masalah utama, maka yang perlu dilakukan bukanlah menghapus pemilu langsung, melainkan mereformasi tata kelola partai politik.
Transparansi keuangan, penghapusan mahar politik, dan pendidikan politik yang lebih baik bagi masyarakat harus menjadi prioritas. Tanpa itu, setiap solusi yang ditawarkan hanya akan menjadi tambal sulam belaka.
Penutup
Usulan Prabowo, meski terlihat logis, lebih menyerupai langkah mundur dalam demokrasi Indonesia.
Biaya politik yang tinggi memang menjadi tantangan, tetapi mengorbankan partisipasi rakyat demi efisiensi finansial bukanlah jawaban. Demokrasi sejatinya adalah tentang rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Jika itu dikorbankan demi mengakomodasi kepentingan segelintir elit, maka kita telah kehilangan esensi dari demokrasi itu sendiri.
Sumber: FusilatNews