'Jokowi Itu Residu Bangsa'
Dalam perjalanan panjang sejarah kepemimpinan Indonesia, setiap era meninggalkan jejak, baik itu prestasi maupun kegagalan.
Namun, jika kita menilai secara jujur dan kritis terhadap era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), kesimpulan yang muncul adalah bahwa ia telah meninggalkan lebih banyak residu—sisa-sisa problematika yang membebani republik ini daripada warisan yang membanggakan.
Residu ini bukan hanya hasil dari kesalahan teknis atau kurangnya kapasitas, tetapi juga rangkaian dosa politik, sosial, dan ekonomi yang terus menghantui masa depan bangsa.
Ekonomi yang Terpuruk di Tengah Pembangunan Fasad
Di awal pemerintahannya, Jokowi memukau rakyat dengan janji revolusi pembangunan infrastruktur. Jalan tol, bandara, dan pelabuhan dibangun di berbagai daerah, seolah menjadi simbol keberhasilan ekonomi.
Namun, di balik megahnya pembangunan itu, muncul persoalan besar: utang negara yang melonjak tanpa terkendali, yang kini mencapai lebih dari Rp7.000 triliun. Hal ini menjadi ancaman serius bagi kestabilan ekonomi negara.
Selain itu, ketergantungan pada investasi asing, terutama dari Tiongkok, memperkuat ketergantungan ekonomi Indonesia pada kekuatan eksternal.
Ironisnya, sementara proyek infrastruktur terus dipamerkan, sektor pertanian dan manufaktur yang menjadi tulang punggung rakyat justru terbengkalai.
Indonesia, yang dahulu dikenal sebagai surga rempah dunia, kini justru menjadi importir kebutuhan pokok seperti beras, garam, dan jagung.
Hal ini tidak hanya menunjukkan kegagalan visi ekonomi Jokowi tetapi juga pengabaian terhadap kedaulatan pangan yang menjadi hak dasar rakyat.
Nepotisme yang Menghancurkan Kredibilitas
Jokowi sering menampilkan dirinya sebagai pemimpin merakyat. Namun, di balik citra tersebut, praktik nepotisme semakin mencolok.
Penempatan anak-anaknya, Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, dalam posisi strategis politik menggambarkan bagaimana kekuasaan digunakan untuk membangun dinasti politik.
Hal ini merusak kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi dan menanamkan benih oligarki yang lebih kuat.
Praktik ini mencederai semangat reformasi 1998 yang bertujuan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Alih-alih menjadi pemimpin yang memperkuat demokrasi, Jokowi justru menjadi simbol kemunduran yang mengkhawatirkan.
Penegakan Hukum: Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas
Salah satu dosa besar Jokowi adalah kegagalannya dalam membangun sistem hukum yang adil.
Penegakan hukum di bawah pemerintahannya lebih sering menjadi alat kekuasaan daripada instrumen keadilan.
Kritik terhadap pemerintah sering kali dibungkam dengan berbagai tuduhan, seperti pencemaran nama baik atau penyebaran hoaks.
Sementara itu, kasus besar yang melibatkan oligarki, korupsi di tingkat atas, hingga mafia hukum dibiarkan menggantung tanpa penyelesaian yang memuaskan.
Hukum di bawah Jokowi menjadi tajam ke bawah, menghantam rakyat kecil, tetapi tumpul ke atas, membiarkan elite berkuasa terus melenggang bebas.
Peminggiran Demokrasi dan Manipulasi Politik
Pemerintahan Jokowi juga diwarnai oleh degradasi nilai-nilai demokrasi. Kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai ancaman, sementara oposisi dilemahkan melalui kooptasi partai politik dan kooptasi lembaga-lembaga strategis.
Koalisi yang seharusnya menjadi wadah pengawasan justru menjadi perpanjangan tangan kekuasaan.
Yang lebih parah, upaya untuk menjegal kandidat potensial yang tidak sejalan dengan kekuasaan, seperti Anies Baswedan, mencerminkan bagaimana demokrasi dimanipulasi demi kepentingan segelintir elite.
Manipulasi politik ini tidak hanya menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap sistem politik tetapi juga mengancam masa depan demokrasi itu sendiri.
Kesimpulan: Warisan Residu untuk Bangsa
Jokowi meninggalkan residu yang akan menjadi beban berat bagi bangsa ini. Residu ini berupa utang yang melilit, sistem hukum yang timpang, demokrasi yang tercabik-cabik, dan moral bangsa yang tergerus oleh nepotisme dan oligarki.
Dalam perjalanan sejarah, ia akan tercatat bukan sebagai pemimpin yang membawa bangsa ini maju, melainkan sebagai residu dari kegagalan sistem yang memungkinkan dirinya berkuasa tanpa pertanggungjawaban yang memadai.
Sebagai rakyat yang mencintai negeri ini, kita tidak boleh berhenti pada kritik. Residu ini harus menjadi pelajaran pahit agar kita lebih bijak dalam memilih pemimpin di masa depan.
Pemimpin sejati bukanlah mereka yang meninggalkan warisan berupa gedung-gedung megah, tetapi mereka yang membangun bangsa dengan keadilan, kemandirian, dan kepercayaan rakyat.
Sumber: FusilatNews