DEMOCRAZY.ID - Ini jelas bukan kabar baik. Ketika masyarakat keberatan dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dipimpin Sri Mulyani malah menimbun utang hingga Rp8.680,13 triliun.
Dikutip dari dokumen APBN KiTA edisi Desember 2024, Kamis (19/12/2024), total utang sebesar Rp 8.680,13 triliun itu, naik 1,4 persen ketimbang bulan sebelumnya yang mencapai Rp8.560,36 triliun.
Dengan menggunungnya utang ini, berdampak kepada naiknya rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) atau debt to GDP ratio yang semakin mendekati 40 persen.
Tepatnya 39,20 persen. Naik ketimbang rasio utang terhadap PDB di bulan sebelumnya yang mencapai 38,66 persen.
Meski rasionya nyaris 40 persen, Lapangan Banteng, sebutan untuk Kemenkeu, bersikukuh tetap aman.
Karena masih berada di bawah ambang batas 60 persen PDB, sesuai UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Sedangkan komposisi utang per akhir November 2024 itu, didominasi Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp7.648,87 triliun, serta utang yang menembus Rp1.0031,26 triliun.
Untuk SBN, didominasi penerbitan utang domestik sebesar Rp 6.173,37 triliun, dan SBN valuta asing (valas) senilai Rp1.475,5 triliun.
Sedangkan komposisi utang per November 2024 yang mencapai Rp1.0031,26 triliun itu, terdiri dari utang dalam negeri Rp42,88 triliun, utang luar negeri sebesar Rp988,38 triliun.
Khusus utang ular negeri terdiri dari utang bilateral Rp265,74 triliun, multilateral Rp576,34 triliun, dan commercial banks Rp146,30 triliun.
Tentu saja, semakin besar utang yang harus ditanggung negara, bebannya berada di pundak rakyat.
Untuk membayar utang itu, biasanya ditempuh dengan mengerek tinggi-tinggi pajak. Termasuk PPN yang bakal dikerek dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2024.
Bahkan, Bhima Yusdhistira, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) punya hitung-hitungan berapa besarnya kenaikan pengeluaran dari masyarakat sebagai dampai penerapan PPN 12 persen.
"Untuk kelas menengah kenaikan biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp350 ribu per bulan. Kelas bawah sekitar Rp100 ribu per bulan. Karena biaya transportasi dan harga bahan pangan pasti naik," papar Bhima.
Lalu apa gunanya PPN naik namun utang pemerintah jalan terus? Beban APBN bakal semakin berat.
Ujung-ujungnya sejumlah pos harus dikurangi. Celakanya jika pos-pos anggaran yang bersentuhan langsung dengan rakyat kecil dikurangi.
Misalnya subsidi energi dan listrik. Atau insentif untuk mendorong pelaku UMKM bisa naik kelas, semakin tipis.
Pastilah rakyat kecil lagi yang kena. Di sisi lain, praktik korupsi belum mampu diminimalisir.
Kebocoran anggaran masih terjadi di mana-mana. Bagaimana ini Bu Sri Mulyani?
Sumber: Inilah