DEMOCRAZY.ID - Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai indikasi praktik tindak pidana korupsi dalam proses pemenang lelang proyek tender pengadaan jasa pengangkutan Electric Multiple Unit (EMU) atau rangkaian Kereta Cepat Jakarta-Bandung Whoosh, makin terang.
"Semua lelang itu harus bebas dari kepentingan. Jika ada indikasi pengkondisian agar pihak tertentu menang dalam sebuah proyek negara, itu sudah bisa dikualifikasikan sebagai perbuatan korupsi," kata Fickar ketika dihubungi, Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Ia mendesak aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk segera mengusut dugaan praktik rasuah ini.
"Jika sudah ada indikasinya, baik berupa laporan, pengaduan, pengembangan, atau bahkan tertangkap tangan, KPK atau Kejaksaan bisa turun untuk menyelidiki dan menyidik. Jika ada oknumnya yang bermain, bisa juga diseret sebagai bagian dari pelaku korupsi," ucapnya.
Sebelumnya, Investigator Penuntutan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memaparkan Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) dalam sidang perdana perkara Nomor 14/KPPU-L/2024 terkait dugaan pelanggaran Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pengadaan Transportasi Darat untuk Pemasokan Electric Multiple Unit (EMU) pada Proyek Jakarta Bandung High Speed Railways Project.
Dalam LDP-nya, Investigator menduga telah terjadi persekongkolan dalam pemasokan unit kereta untuk proyek tersebut.
Sidang yang digelar pada Jumat (13/12/2024) dipimpin oleh Ketua Majelis Aru Armando, dengan anggota majelis Budi Joyo Santoso dan Gopprera Panggabean di kantor KPPU Jakarta.
Perkara ini bermula dari laporan masyarakat yang melibatkan PT CRRC Sifang Indonesia sebagai Terlapor I (panitia tender) dan PT Anugerah Logistik Prestasindo sebagai Terlapor II (pemenang tender).
Dalam paparannya, Investigator Penuntutan menjelaskan sejumlah temuan yang mengarah pada persekongkolan, di antaranya:
-Terlapor I tidak memiliki peraturan tertulis yang baku terkait tata cara pemilihan penyedia barang dan/atau jasa.
-Terlapor I tidak melakukan penerimaan, pembukaan, dan evaluasi dokumen penawaran secara terbuka atau transparan.
-Terlapor I memenangkan peserta tender yang tidak memenuhi persyaratan kualifikasi.
Lebih lanjut, Investigator menemukan bahwa Terlapor II tidak layak menjadi pemenang tender karena tidak memenuhi persyaratan modal disetor sebesar Rp10 miliar, tidak memiliki pengalaman sejenis, serta tidak memperoleh nilai atau skor tertinggi dalam proses tender.
Dugaan persekongkolan ini dinilai telah menghambat atau menutup kesempatan peserta lain untuk menjadi pemenang tender. Seharusnya, pemenang dipilih melalui metode penilaian bentuk, penilaian kualifikasi, dan penilaian responsif.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut, Investigator KPPU menduga telah terjadi pelanggaran Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 terkait persekongkolan tender oleh kedua Terlapor.
Majelis Komisi memberikan kesempatan kepada para Terlapor untuk menyampaikan tanggapan dalam sidang berikutnya yang dijadwalkan pada 7 Januari 2025, dengan agenda Tanggapan Terlapor terhadap LDP dan Pemeriksaan Alat Bukti/Dokumen.
Sumber: Inilah