CATATAN POLITIK

Gerilya Jokowi Setelah Tak Lagi “Merah”

DEMOCRAZY.ID
Desember 09, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Gerilya Jokowi Setelah Tak Lagi “Merah”


Gerilya Jokowi Setelah Tak Lagi “Merah”


Jokowi tak benar-benar pulang ke Solo setelah tak menjabat presiden. Raganya memang di Solo, tapi cawe-cawenya masih di Jakarta. Ia terus bergerilya mencari kendaraan politik untuk memperpanjang pengaruh dan dinastinya.


***


Sambil tertawa, Jokowi mengatakan masih menyimpan kartu tanda anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (KTA PDIP). Pernyataan tersebut merespons pertanyaan mengenai statusnya di partai banteng.


Ihwal KTA itu dilontarkan Jokowi kepada wartawan di kediamannya, Solo, Jawa Tengah, Selasa (3/12). Momen itu bertepatan saat Jokowi menerima kunjungan cagub Kaltim yang memenangi pilkada versi hitung cepat, Rudy Mas’ud. Rudy adalah kandidat yang di-endorse Jokowi dan berhasil mengalahkan petahana yang juga calon usungan PDIP, Isran Noor-Hadi Mulyadi.


Jokowi tak menjelaskan alasannya masih menyimpan KTA PDIP padahal sikap politiknya terus berseberangan dengan partai banteng. Sebagian orang menilainya sebagai upaya merayu atau memperbaiki hubungan yang retak saat Pilpres 2024.


Jokowi bahkan menyatakan akan membuka pintu untuk mantan rekannya yang juga Ketua DPC PDIP Solo, FX Rudyatmo. Jokowi mengatakan tak punya masalah dengan FX Rudy. Keduanya masih berteman.


“Nanti kalau beliau ada waktu [temu]. Tidak ada masalah urusan politik [dengan pertemanan]. Semuanya kita ini kan teman. Dan sahabat baik yang sudah lama terjalin. Bestie, kan,” kata Jokowi.


Pernyataan Jokowi di Solo itu langsung direspons Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Ia menegaskan, Jokowi dan keluarganya bukan lagi kader banteng. Status Jokowi sebagai kader dicabut sejak putranya, Gibran Rakabuming Raka, maju cawapres yang diwarnai pelanggaran kode etik di Mahkamah Konstitusi.


PDIP menganggap Jokowi sudah keluar dari semangat demokrasi yang menjadi prinsip mereka.


“Ketika konstitusi saja dikebiri, maka otomatis status seluruh kelengkapan keanggotaan [Jokowi] yang berkaitan dengan PDI Perjuangan sudah dinyatakan berakhir,” kata Hasto di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu (4/12).


Hubungan panas PDIP dengan Jokowi menebal setelah sang mantan presiden dianggap cawe-cawe dan memperkuat dinastinya dalam Pilkada Serentak 2024. PDIP menuduh Jokowi mengerahkan “partai cokelat” untuk memenangkan calon kepala daerah yang ia endorse. kumparan telah mengulasnya dalam laporan bertajuk Yang Tumbang di Pilkada.


“Saya tegaskan kembali bahwa Pak Jokowi dan keluarga sudah tidak lagi menjadi bagian dari PDI Perjuangan,” tegas Hasto.


Bukan hanya tak dianggap, Jokowi juga kehilangan respect dari sebagian kader PDIP. Mereka melihat Jokowi bersiasat demi mengukuhkan dinastinya. Sumber internal partai banteng bercerita, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sampai dongkol bila membicarakan atau mendengar nama Jokowi.


Kendati tak lagi mendapat tempat di PDIP, Jokowi nyatanya belum diberi surat pemecatan. Sumber di lingkaran partai itu mengatakan, sanksi pemecatan tak diambil karena akan menjadi bumerang. Bila dipecat, Jokowi diprediksi akan memosisikan diri sebagai korban, dan pada akhirnya itu menguntungkan dirinya.


Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menilai jika pemecatan Jokowi dilakukan secara formal, maka yang dirugikan adalah PDIP. Di sisi lain, PDIP sebagai partai kader dapat menunjukkan taringnya ke anggota lain dan menegaskan bahwa semua kader harus taat asas partai.


Dalam konteks pemecatan Jokowi, terlebih saat masih menjabat presiden, PDIP memberlakukan diskresi. Menurut Agung, pemecatan Jokowi saat masih duduk di kursi presiden bisa menjadi bumerang bagi PDIP, semisal menimbulkan intimidasi dan ancaman.


“Ada aksi, ada reaksi. Dipecat itu sebenarnya dipermalukan. Otomatis bagi yang dipecat, ada langkah-langkah balasan; dan balasan itu tidak bisa diprediksi atau dimitigasi PDIP ketika Pak Jokowi masih presiden,” kata Agung kepada kumparan, Kamis (5/12).


Namun, kini situasinya berbeda karena Jokowi tak lagi menjabat. Menurut Agung, justru sekarang momentum bagi PDIP untuk menampilkan “merahnya” dengan berani menjatuhkan pemecatan kepada Jokowi.


Pemecatan terhadap Jokowi dianggap akan memperkuat internal partai berupa penebalan soliditas kader sekaligus penegasan PDIP sebagai partai kader yang taat asas dan satu komando dengan ketua umumnya, Megawati.


“Kalau sekarang sudah tidak [berkuasa] kan bisa diminimalkan segala risikonya; atau ekses-ekses politik yang mungkin saja mengemuka,” kata Agung.


Ketua DPP PDIP Bidang Kehormatan Partai, Komarudin Watubun, membenarkan pihaknya belum menjatuhkan surat pemecatan untuk Jokowi. PDIP hanya menyampaikan ke publik bahwa Jokowi bukan lagi bagian dari partai banteng. Sikap tersebut, kata Komarudin, adalah untuk menghormati Jokowi.


“Kami juga menjaga kehormatan beliau. Bagaimanapun beliau itu Presiden Republik Indonesia kala itu,” kata Komarudin, Jumat (6/12).


“Bukan kami memperlakukan beliau secara khusus. Tapi etikanya kami menghormati meskipun dia berseberangan dengan kami; kami besarkan dia, dan dia berkhianat kepada kami. Kami tetap menghormati dalam konteks itu (statusnya sebagai presiden),” tambahnya.


Komarudin merasa tergelitik mendengar ucapan Jokowi bahwa ia masih menyimpan KTA. Padahal, semua orang tahu Jokowi berseberangan dengan PDIP sejak Pilpres hingga Pilkada 2024.


Mestinya, lanjut Komar, Jokowi yang telah dibesarkan PDIP punya rasa penghargaan. Komar menyinggung beberapa kader andalan PDIP seperti Budiman Sudjatmiko yang secara jentelmen menyatakan sikap berseberangan, lalu dipecat dan mengembalikan KTA.


“Di media kan dia (Jokowi) bilang masih simpan kartu [PDIP] di rumah. ‘Lah, kan lucu itu. Kalau bahasa kasarnya, tidak tahu malu,” ujar Komar.


PDIP menunggu itikad baik Jokowi untuk mengembalikan KTA. Bila pun tak ada ada niat tersebut, ujar Komar, PDIP akan tetap menjatuhkan surat pemecatan supaya tercipta rasa adil antarkader, sebab beberapa anggota lain telah dipecat karena melanggar disiplin partai selama perhelatan pilpres dan pilkada.


“Kalau kemudian kami pecat, itu bukan karena kami yang memecat, tapi beliau memecat diri sendiri karena tidak mau mendengar permintaan kami,” kata Komar.


Jokowi diduga sempat mencoba berbaikan dengan Megawati kala hubungan keduanya memanas di pilpres. Saat Megawati berulang tahun ke-77 pada 23 Januari 2024, Jokowi mengirimkan anggrek bulan ungu, bunga kesukaan Megawati. Jokowi juga menyertakan mawar putih, lili, dan baby breath dalam buket bunga itu, dengan kertas bertuliskan “Selamat Ulang Tahun Ibu Megawati Soekarnoputri. Dari Presiden Joko Widodo dan keluarga” tersemat di atasnya.


Namun, buket bunga cantik itu rupanya tak berhasil meluluhkan Megawati, bahkan tak ditaruh di hadapan Mega saat perayaan ulang tahun berlangsung.


Upaya Jokowi Menjaga Lilin Dinasti


Niat Jokowi untuk pulang ke Solo usai tak lagi menjabat sebagai presiden rupanya sekadar ucapan di bibir. Ia bukannya menghabiskan masa pensiun dengan anteng. Ia bolak-balik Solo-Jakarta dan sibuk cawe-cawe meng-endorse para calon kepala daerah.


Yang paling tampak adalah kala ia berangkat ke Jakarta untuk mendukung Ridwan Kamil-Suswono—yang belakangan dinyatakan kalah dari Pramono Anung-Rano Karno berdasarkan hitungan akhir KPU Jakarta.


Tak hanya RK di Jakarta, Jokowi juga ikut memenangkan Ahmad Luthfi-Taj Yasin di Jawa Tengah. Ia bahkan sesumbar mengatakan bahwa ia meng-endorse sekitar 80 kepala daerah.


Cawe-cawe Jokowi dalam kontestasi kepala daerah adalah haknya sebagai warga negara, namun menjadi pertanyaan karena upaya itu disebut-sebut sebagai cara Jokowi untuk menjaga dan melanjutkan dinastinya, utamanya mengamankan perjalanan Gibran di kontestasi politik 2029.


Strategi Jokowi mengobral endorse dalam pilkada jadi salah satu jalan untuk memperkuat pengaruh dan posisi. Upaya lainnya ialah dengan mencari “suaka” dari partai politik.


“Beliau ingin terlibat dalam orbit strategis kekuasaan. Tanpa kendaraan politik, dia nggak bisa melakukan manuver ataupun orkestrasi tertentu untuk mencapai tujuan politiknya, termasuk mengamankan dinasti politiknya,” kata Agung.


Ia mencontohkan dua mantan Presiden RI yang tetap memegang kendali parpol sampai saat ini: Megawati (PDIP) dan Susilo Bambang Yudhoyono (Demokrat).


“Nah, Pak Jokowi punya [kendaraan politik] apa nih?” ujar Agung.


Saat ini Jokowi memang belum bergabung ke partai politik apapun. Tapi, menurut sumber di lingkaran parpol, Jokowi sebetulnya sudah sejak lama mengusahakan mendapat kendaraan politik.


Pada awal rancangan perjalanan politiknya, Jokowi disebut punya andil membesarkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang saat ini dipimpin anaknya, Kaesang Pangarep. PSI disebut akan jadi kendaraan Jokowi. Tapi partai pengusung “Jokowinisme” ini tidak berhasil lolos parlemen—yang artinya posisinya tak begitu signifikan.


Rencana berikutnya adalah bergabung ke Golkar. Sejumlah sumber di parpol menyebut, Jokowi sesungguhnya ingin berlabuh di Golkar. Riuh isu Jokowi—dan Gibran—masuk Golkar telah menggema sejak 2023. Awal Agustus 2024, bahkan muncul poster dukungan bagi Gibran sebagai Ketua Umum Golkar.


Akhir Agustus, Bahlil Lahadalia menjadi Ketua Umum Golkar menggantikan Airlangga yang mundur mendadak, dan isu Jokowi bakal ke Golkar makin menguat. Kala itu, beredar kabar bahwa Jokowi hendak masuk ke struktur baru Golkar. Namun, Bahlil menampik dan menyebut Jokowi sebagai “Bapak Bangsa yang berdiri di atas semua partai”.


Sekretaris Bidang Organisasi DPP Golkar Derek Loupatty mengatakan, Jokowi adalah anggota kehormatan partainya meski tak punya KTA Golkar. Status anggota kehormatan diberikan dalam kapasitas Jokowi sebagai pemimpin RI.


“Jika ada tokoh yang diakui sebagai negarawan seperti Jokowi, mereka tidak perlu KTA. Golkar sudah mendukung beliau sejak 2016 hingga 2024 sebagai presiden,” kata Derek Loupatty di kantor DPP Golkar, Jakarta pada Kamis (5/12).


Namun, ucapan Derek tersebut tak selaras dengan Wakil Ketua Umum Golkar Adies Kadir. Ia mengatakan, komposisi Dewan Kehormatan Golkar masih dalam tahap penyusunan oleh Aburizal Bakrie sebagai Ketua Dewan Kehormatan.


“Terkait apakah Pak Jokowi sudah menjadi anggota Dewan Kehormatan, sepengetahuan saya di Partai Golkar belum ada pembicaraan dan komunikasi tentang hal ini,” ujar Adies, Jumat (6/12).


Ia mengatakan, partainya terbuka bagi siapapun yang ingin bergabung. Senada, Sekjen Golkar Sarmuji mengatakan jika akhirnya Jokowi melabuhkan pilihan ke Golkar, maka partai beringin akan menerima dengan tangan terbuka.


Meski demikian, hingga kini Jokowi belum kunjung bergabung. Sumber lain menyebut, ada tantangan internal sekaligus kekuatan politik yang tak berkenan bila Jokowi bergabung.


“Banyak yang kurang nyaman dengan suksesi atau perubahan kekuasaan di internal partai yang akhirnya membuat Golkar turun lagi pamor dan mesin elektoralnya karena harus mengakomodir terlalu banyak kepentingan-kepentingan kekuasaan di luar Golkar,” kata Agung.


Agung berpendapat, menjadi pengendali parpol yang punya sejarah panjang tidaklah mudah sekalipun Jokowi memiliki popularitas dan elektabilitas. Jokowi harus mampu membangun komunikasi dengan tokoh-tokoh besar di Golkar seperti Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, bahkan Airlangga Hartarto.


“Tidak ada faksi tunggal di Golkar. Semua harus diakomodir. Faksi-faksi ini harus terkonsolidasi dulu sebelum akhirnya menerima anggota baru,” jelas Agung.


Alternatif lain bila Jokowi tak dapat tebengan dari Golkar atau parpol lain, ialah dengan membuat Projo, kelompok relawan pendukungnya yang kini berbentuk ormas, menjadi partai.


Sekjen DPP Projo, Handoko, optimistis bisa mengupayakan organisasi relawan tersebut menjadi partai. Ia mengklaim, Projo sudah memiliki cabang-cabang hampir di seluruh Indonesia sehingga akan memudahkan mewujudkan partai.


Handoko juga menyebut bahwa Projo telah memiliki modal elektabilitas Jokowi yang masih dianggap tinggi, meski faktor elektoral tersebut tak terbukti mampu mengantarkan PSI ke Senayan.


Hingga hari, lanjut Handoko, Projo belum menemukan urgensi untuk terburu-buru membentuk partai. Mereka masih menunggu arah angin politik Jokowi. Projo hanya mengikuti tujuan Jokowi, ntah bergabung dengan partai yang sudah ada atau membuat parpol baru.


“Projo itu rohnya, Pak Jokowi … Kalau Pak Jokowi bikin partai, Projo ngikut,” ujar Handoko.


Minta Arahan ke Prabowo?


Dua hari setelah Hasto penegasan soal tak lagi dianggap di PDIP, Jumat (6/12) malam, Jokowi melakukan kunjungan ke kediaman Presiden Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan. Keduanya bersantap malam dan nampak menikmati obrolan santai di ruang tamu.


Usai pertemuan, Prabowo merespons pertanyaan wartawan mengenai peluang Jokowi bergabung ke partainya. Ia berkata, “Kalau Gerindra terbuka. Tapi kita tentunya tidak bisa maksa beliau masuk.”


Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad tak membantah bahwa pertemuan Jokowi dan Prabowo tersebut salah satunya membicarakan konsolidasi partai. Terlebih Gerindra akan ulang tahun Februari 2025 mendatang.


Agung menilai, keputusan politik Jokowi, baik bergabung partai ataupun membangun kendaraan sendiri, memang harus restu Presiden Prabowo. Partai yang akan dituju Jokowi pasti akan meminta pandangan lebih dulu ke presiden. Sebab, langkah parpol menerima Jokowi juga akan berpengaruh signifikan dalam kepemimpinan Prabowo.


Menurut Agung, Prabowo pasti sudah mengkalkulasi eskalasi yang akan ditimbulkan bila Jokowi memegang partai. Prabowo pasti tidak ingin ada matahari kembar yang justru akan menghambat roda kepemimpinannya.


“Kalau dari sisi Pak Prabowo, saya kira namanya presiden mesti ingin menjadi pemilik kekuasaan mutlak. Tidak ingin ada matahari kembar atau kekuatan lain yang punya power sama atau malah lebih besar,” tutup Agung.


Sumber: KUMPARAN

Penulis blog