DEMOCRAZY.ID - Pendakwah Miftah Maulana Habiburrahman buka suara soal panggilan 'Gus' yang tersemat pada dirinya.
Miftah ramai diperbincangkan setelah dirinya dikritik karena pernyataan yang dinilai merendahkan pedagang es teh keliling.
Tak sedikit pula warganet yang kemudian meragukan atau berspekulasi mengenai silsilah keturunan Miftah yang membuat pengasuh Ponpes Ora Aji, Sleman itu dipanggil 'Gus Miftah'.
"Saya pikir itu sudah soal yang sangat-sangat lama, dan bisa dicek di berbagai media yang mungkin tidak perlu saya jelaskan kembali," kata Miftah usai mengumumkan mundur dari jabatan Utusan Khusus Presiden di kediamannya, Kalasan, Sleman, Jumat (6/12).
Melansir Antara, Ketua PBNU Bidang Keagamaan, Ahmad Fahrur, memastikan bahwa Miftah merupakan keturunan ulama besar asal Ponorogo, Jawa Timur.
Dalam penjelasannya, ia membuktikan bahwa silsilah keturunan Miftah sah dan sesuai dengan fakta.
Disebutkan, Miftah adalah keturunan kesembilan dari Kiai Muhammad Ageng Besari, pendiri Pesantren Tegalsari di Ponorogo.
Dalam garis nasabnya, ia tercatat sebagai keturunan langsung dari Kiai Muhammad Ageng Besari, yang dikenal memiliki peran besar dalam perkembangan pesantren di daerah tersebut. Sedangkan Ayah Miftah, M. Murodhi, merupakan anak M. Boniran.
Kiai Muhammad Ageng Besari sendiri merupakan seorang tokoh penting yang tidak hanya dikenal sebagai kiai, tetapi juga sebagai bangsawan dan pendiri salah satu pesantren tertua di Nusantara.
Pesantren Tegalsari, yang juga dikenal dengan nama Pesantren Gebang Tinatar, menjadi salah satu lembaga pendidikan agama yang berpengaruh di wilayah tersebut.
Sebagai informasi, panggilan 'Gus' memiliki akar sejarah yang panjang dan penuh makna, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Asal-usul panggilan 'Gus' awalnya digunakan sebagai sapaan kehormatan bagi putra raja di lingkungan keraton, terutama pada masa Kesultanan Mataram Islam.
Merangkum berbagai sumber, panggilan 'Gus' berasal dari kata 'Bagus', yang dalam bahasa Jawa bermakna 'anak laki-laki dengan kedudukan tinggi.'
Seiring berjalannya waktu, sapaan ini meluas ke kalangan pesantren dan menjadi gelar yang disematkan kepada putra para kiai, terutama di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).
Sapaan ini bermula pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820), yang dikenal sebagai raja sekaligus santri.
Istilah 'Gusti' atau 'Den Bagus' digunakan untuk menyapa putra raja, mencerminkan status mereka sebagai pewaris nilai-nilai kepemimpinan yang berakar pada ajaran Islam.
Tradisi ini kemudian diadopsi oleh para ulama dan kiai di luar lingkungan keraton.
Mereka menyapa putranya dengan panggilan 'Gus' yang melambangkan harapan besar agar anak tersebut melanjutkan peran ayahnya sebagai pemimpin spiritual.
Menurut Poerwadarminta dalam Baoesastra Djawa (1939), 'Gus' juga digunakan sebagai gelar yang diberikan karena faktor keturunan (ascribed status) atau pencapaian individu dalam masyarakat (achieved status).
Hal ini menjelaskan bahwa panggilan 'Gus' tidak hanya disematkan kepada putra kiai, tetapi juga kepada mereka yang memiliki pengetahuan agama mendalam dan dihormati karena perjuangan spiritualnya.
Di sisi lain, Gus Kautsar, putra Pengasuh Pesantren Al Falah Ploso, pernah menegaskan bahwa panggilan 'Gus' adalah bentuk penghormatan terhadap jasa orang tua, bukan pencapaian pribadi.
Dia mengingatkan bahwa mereka yang dipanggil 'Gus' harus memikul tanggung jawab moral yang besar.
Berusaha memantaskan diri dengan sikap rendah hati dan kontribusi nyata bagi masyarakat.
Dari asal-usul panggilan 'Gus' di atas, setidaknya kita tahu bahwa panggilan tersebut bukan sekadar gelar, melainkan simbol kepercayaan dan harapan masyarakat terhadap orang yang memegangnya.
Di tengah arus modernisasi, nilai-nilai luhur yang melekat pada panggilan ini harus tetap dijaga agar tetap relevan dan dihormati.
Sumber: CNN