'Bumi Pertiwi Dirusak Firaun Bin Raja Jawa' Negeri ini ibarat perahu, mengarungi samudra luas di bawah layar merah putih. Tujuh puluh delapan tahun lamanya, layar itu berkibar, membelah badai, menantang gelombang. Air mata, darah, dan nyawa menjadi persembahan suci bagi tanah air tercinta. Perahu ini, di bawah kendali seorang nahkoda, membawa mimpi-mimpi rakyat menuju pelabuhan harapan. Namun kini, sang nahkoda tak lagi membaca arus, tak lagi menghitung pasang dan surut. Ia memilih jalannya sendiri, membiarkan perahu terombang-ambing di tengah lautan keraguan. Daratan dan lautan, saksi bisu perjalanan ini, menjadi korban kerakusan. Langit pun, yang dulu biru penuh berkah, kini ternoda oleh ambisi yang melampaui batas. Bukankah pendiri negeri telah menanam kompas abadi? Melindungi, mensejahterakan, mencerdaskan—itulah pelabuhan yang mereka tuju. Kompas itu terangkum dalam UUD 1945, pedoman yang mengikat setiap nahkoda agar tak tersesat. Namun, cawan kekuasaan tern...
'Bumi Pertiwi Dirusak Firaun Bin Raja Jawa' Negeri ini ibarat perahu, mengarungi samudra luas di bawah layar merah putih. Tujuh puluh delapan tahun lamanya, layar itu berkibar, membelah badai, menantang gelombang. Air mata, darah, dan nyawa menjadi persembahan suci bagi tanah air tercinta. Perahu ini, di bawah kendali seorang nahkoda, membawa mimpi-mimpi rakyat menuju pelabuhan harapan. Namun kini, sang nahkoda tak lagi membaca arus, tak lagi menghitung pasang dan surut. Ia memilih jalannya sendiri, membiarkan perahu terombang-ambing di tengah lautan keraguan. Daratan dan lautan, saksi bisu perjalanan ini, menjadi korban kerakusan. Langit pun, yang dulu biru penuh berkah, kini ternoda oleh ambisi yang melampaui batas. Bukankah pendiri negeri telah menanam kompas abadi? Melindungi, mensejahterakan, mencerdaskan—itulah pelabuhan yang mereka tuju. Kompas itu terangkum dalam UUD 1945, pedoman yang mengikat setiap nahkoda agar tak tersesat. Namun, cawan kekuasaan tern...