CATATAN POLITIK

'Bumi Pertiwi Dirusak Firaun Bin Raja Jawa'

DEMOCRAZY.ID
Desember 27, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Bumi Pertiwi Dirusak Firaun Bin Raja Jawa'


'Bumi Pertiwi Dirusak Firaun Bin Raja Jawa'


Negeri ini ibarat perahu, mengarungi samudra luas di bawah layar merah putih. Tujuh puluh delapan tahun lamanya, layar itu berkibar, membelah badai, menantang gelombang. 


Air mata, darah, dan nyawa menjadi persembahan suci bagi tanah air tercinta. Perahu ini, di bawah kendali seorang nahkoda, membawa mimpi-mimpi rakyat menuju pelabuhan harapan.


Namun kini, sang nahkoda tak lagi membaca arus, tak lagi menghitung pasang dan surut. Ia memilih jalannya sendiri, membiarkan perahu terombang-ambing di tengah lautan keraguan. 


Daratan dan lautan, saksi bisu perjalanan ini, menjadi korban kerakusan. Langit pun, yang dulu biru penuh berkah, kini ternoda oleh ambisi yang melampaui batas.


Bukankah pendiri negeri telah menanam kompas abadi? Melindungi, mensejahterakan, mencerdaskan—itulah pelabuhan yang mereka tuju. 


Kompas itu terangkum dalam UUD 1945, pedoman yang mengikat setiap nahkoda agar tak tersesat. 


Namun, cawan kekuasaan ternyata terlalu menggoda. Nahkoda ini, dengan sengaja, meminum isinya hingga lupa arah.


Ia menumbangkan pohon-pohon harapan, menggusur rumah-rumah kenangan, dan membiarkan tanah air menangis. Kritikan, bagai angin ribut, datang dari segala penjuru. 


Ada yang menyebutnya Fir’aun, ada pula yang menyamakannya dengan Machiavelli Jawa. Meski metafora ini pahit, mereka hanyalah peringatan, seruan agar ia kembali ke jalur kebenaran.


Langit, daratan, dan lautan bukan milik seorang diri. Mereka adalah titipan, amanah yang harus dijaga. 


Namun, apa yang terjadi? Bahkan langit tertinggi pun dirusak, tak luput dari politik dinasti dan ambisi pribadi. 


Ipar menjadi tameng, putra menjadi pion, sementara rakyat hanya menjadi penonton dalam drama kekuasaan yang penuh intrik.


Dalam Surah Ar-Rahman, Allah meninggikan langit agar keseimbangan tetap terjaga. Ia memerintahkan keadilan, agar dunia tidak condong ke satu sisi. 


Namun, keseimbangan perahu ini hilang. Ia miring ke arah faksi, ke arah keluarga, meninggalkan rakyat yang setia mendayung di bawahnya.


Perahu ini sedang darurat. Gelombang kebohongan dan badai ketidakadilan mengancam menenggelamkannya. 


Harapan-harapan yang dulu setinggi langit kini tenggelam ke dasar laut. Maka, rakyat dan para tokoh harus bersatu. 


Mereka harus mengambil alih kemudi, membawa perahu kembali ke jalur yang benar, sebelum semuanya terlambat.


Oh, perahu Indonesia, akankah kau selamat dari badai ini? Akankah layar merah putih kembali berkibar di bawah langit biru yang tak ternoda? 


Waktu akan menjawab, tetapi rakyatlah yang harus bertindak, membawa perahu ini menuju pelabuhan yang seharusnya.


Sumber: FusilatNews

Penulis blog